Sabtu, 17 Desember 2011

UJI KLINIS IMMUNOCAL UNTUK HIV/AIDS

Canadian Trial Network meneliti efek Immunocal pada 14 anak penderita AIDS dan wasting syndrome [penyakit AIDS yang lanjut disertai gejala penurunan berat badan]. Hasilnya menunjukkan adanya kenaikan berat badan bagi anak penderita AIDS sampai 18% dari berat badan semula. Hasil lain, Efek dari Immunocal pada penderita HIV selama 3 bulan menunjukkan peningkatan berat badan mereka antara 2-7 kg.
Penelitian lain melaporkan dua kasus seorang ibu dan anak yang terkena HIV diberikan Immunocal [20g/2 sachet per hari] selama 7 bulan, menunjukkan hasil adanya penurunan terhadap Viral Load dari 140.000 copies m/l menjadi 5.000, DNA Bload Lymphocyte meningkat dari 2.5 k/c mm menjadi 3.33, Neutrophils dari 1.6 menjadi 3.65 dan CD4 dari 1.025 jadi 1.450.
Pada kasus satu keluarga ketika seorang ayah [46 th] pada April 1995 terdiagnosa positif HIV-1 yang tertular dari hubungan heterosex, setelah diberikan Immunocal 25 g perhari, 2 minggu kemudian pasien tsb merasa lebih baik dan dapat bekerja lagi seperti biasa. Begitu juga istrinya [35 th] yang positif HIV-1, telah minum obat AZT selama sebulan tapi malah muntah dan sakit kepala. Setelah minum Immunocal 20 g per hari, kekuatan dan energinya bertambah. Anaknya [2 th juga positif HIV-1, dengan Immunocal 10g per hari, ditemukan perbaikan dan peningkatan energi si anak. Tes darah menunjukkan peningkatan Viral Load, Lymphocyte [sel darah putih] dan CD4 Lymphocyte.
Keandalan Immunocal melawan HIV ini diakui dunia, dengan bukti :
  • Hak patent dari United States Patent mengenai AIDS dalam Method of Treatment of HIV-Seropositive Individuals with Dietary Whey Protein pada tanggal 9 Oktober 1995 dengan nomor 5.456.924.
  • Hak patent dalam Undenatured Whey Protein Concentrate to Improve Active Systemic Humoral Immune Respone dengan nomor 5.230.902 pada tanggal 27 Juli1993.
  • Hak patent dari Australia nomor 8812-93 : Method of Treatment of HIV-seropositive Individuals with Dietary Whey Protein.
  • Diuji klinis lembaga ternama dunia dan diterbitkan majalah ilmiah kedokteran dan biologi internasional, antara lain : Lancet, Anti Cancer Research, British Medical Journal, dan European Jornal of Clinical Pharmacology.


TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dinamika Pelacuran
di Wilayah Jakarta dan Surabaya
dan Faktor Sosio Demografi
yang Melatarbelakanginya
Kasnodihardjo, Rachmalina S Prasojo, Helper SP Manalu
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Jakarta
PENDAHULUAN
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, dampaknya mulai
terasa sejak awal tahun 1998; selain langsung pada kehidupan
ekonomi bangsa, juga berdampak terhadap berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Krisis ekonomi mengakibatkan
turunnya pendapatan nyata penduduk akibat hilangnya
kesempatan kerja. Dampak lanjutan adalah kerawanan yang
menyangkut berbagai hal, salah satu di antaranya adalah bidang
ekonomi dan sosial.
Krisis ekonomi dapat meningkatkan jumlah penjaja seks
komersial(PSK). Karena sifat pekerjaan dan perilaku mereka,
para PSK berpotensi tertular dan menularkan penyakit menular
seksual (PMS) termasuk HIV-AIDS (Human
Immunodeficiency Virus - Acquired Immune Deficiency
Syndrome). Pekerja seks yang beroperasi di Jakarta datang dari
berbagai daerah. Suatu survai menunjukkan bahwa mereka
datang dari Jawa Timur 4%, dari Jambi 2%, dari Sumatera
Barat 6%, dari Jawa Tengah 17%, dari Jawa Barat 18% dan
D.K.I sendiri 50% (Suara Pembaruan, Maret 1999).
Menghapuskan sama sekali kegiatan para PSK seperti
misalnya rencana penutupan lokalisasi atau operasi penertiban
tampaknya tidak mungkin. Justru ini akan menimbulkan
dampak lain dan tidak menyelesaikan masalah. Barangkali
yang paling mungkin adalah tindakan agar dampak negatif
yang ditimbulkannya tidak meluas ke masyarakat, misalnya
dampak kesehatan yaitu munculnya PMS termasuk HIV-AIDS
dicegah melalui penggunaan kondom. Untuk itu perlu dipahami
latar belakang dan motivasi mereka menjadi PSK; apakah oleh
faktor ekonomis akibat krisis, faktor psikologis, biologis,
bahkan mungkin politis. Demikian pula motivasi dan alasan
mereka menggunakan dan tidak menggunakan kondom saat
melakukan hubungan seksual dengan pelanggannya. Tulisan ini
merupakan hasil penelitian tahun 2001.
METODOLOGI
Desain studi
Penelitian bersifat studi eksploratif dengan metoda
pengumpulan data kualitatif terutama dengan menggunakan
pemahaman langsung dan tidak langsung. Sumber data yaitu
orang-orang yang diminta memberikan informasi, disebut
informan. Informan pada penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi tentang apa yang ia ketahui dan juga
sedapat mungkin tentang apa yang ia alami. Maka penelitian
lebih banyak tergantung pada bahasa informan (Yudoyono B,
1992). Selain informasi diri, informan juga diharapkan dapat
memberikan keterangan lain.
Sasaran Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
Sasaran utama penelitian ini adalah wanita yang berprofesi
sebagai penjaja seks (PS) atau Pekerja Seks Komersial (PSK),
baik yang terorganisasi maupun yang tidak, yaitu mereka yang
berpraktek liar di pinggir jalan, pinggir jalan (rel) kereta api,
kafe, mal, panti pijat atau warung remang-remang. Sasaran
penelitian lain adalah mucikari (germo) atau orang-orang yang
diasumsikan mengetahui praktek keseharian wanita penjaja
seks. Penentuan informan (responden) dilakukan melalui
pendekatan lokasi yang diduga sebagai sentinel dan dipilih
secara purposif.
Pemilihan sasaran dilakukan secara insidental. Semua PSK
pada saat pelaksanaan penelitian mendapatkan kesempatan
yang sama untuk diambil sebagai sampel penelitian. Jumlah
sampel ditentukan secara kuantum yaitu 20 orang PSK di
beberapa jalan di Kota Madya Surabaya dan 20 orang PS di
beberapa jalan di DKI Jakarta yang bersedia menjadi informan
(responden). Pengumpulan data lebih ditekankan melalui
wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu berupa dialog
secara individu maupun kelompok menggunakan pertanyaan-
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 51

pertanyaan bebas agar informan mengutarakan pandangan,
pengetahuan, perasaan serta sikap dan perilaku berupa
pengalaman pribadi yang berkaitan dengan profesi sebagai
PSK. Wawancara mendalam dimaksudkan untuk membangun
pemahaman bersama tentang tujuan penelitian dan materi
penelitian
(3)
. Dalam wawancara mendalam, peneliti
(pewawancara) dilengkapi formulir berisi pertanyaan-
pertanyaan sebagai pedoman wawancara. Selain wawancara
mendalam, data dikumpulkan menggunakan diskusi kelompok
terarah (DKT), terutama data tambahan yang tidak terekam
melalui wawancara mendalam. Peserta DKT terdiri dari para
PSK terpilih yang pernah diwawancarai secara mendalam
ditambah PSK lain yang belum pernah diwawancarai secara
mendalam yang berpraktek di lokasi yang sama. Diskusi
terarah yang dapat diselenggarakan untuk lokasi penelitian di
Surabaya berjumlah 4 kelompok dan untuk lokasi penelitian di
DKI Jakarta 5 kelompok. Masing-masing kelompok diskusi
beranggotakan 6 PSK.
Selain itu metoda pengamatan digunakan untuk melengkapi
data terutama yang tidak dapat terkumpul melalui wawancara
mendalam meliputi data fisik dan perilaku keseharian PSK
terutama saat menjalankan profesinya. Dalam pengamatan,
peneliti berupaya melibatkan diri dalam kehidupan obyek yang
diteliti yaitu PSK. Data yang dikumpulkan meliputi
karakteristik demografi, motivasi dan lama menjadi PSK,
perilaku yang berkaitan dengan risiko tertular PMS termasuk
HIV-AIDS yang meliputi pengetahuan, sikap dan perilaku
penggunaan kondom terakhir kali, frekuensi hubungan seksual
dan faktor latar belakang penggunaan kondom, latar belakang
sosial dan latar belakang sarana.
Data diperoleh langsung dari informan yang terdiri dari
PSK, mucikari (germo) dan orang-orang kunci yang
diasumsikan mengetahui kegiatan/praktek keseharian PSK
Selain itu data sekunder juga diperoleh dari arsip atau dokumen
instansi terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan
sumber lain. Dilakukan analisis deskriptif kualitatif dan sintesis
atas data yang diperoleh dengan dua cara yaitu wawancara
mendalam dan diskusi kelompok terarah. Dari berbagai
gambaran obyektif yang diperoleh, diadakan interpretasi
menggunakan beberapa teori perilaku PSK dan teori perubahan
sosial (social change).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Latar belakang karakteristik sosial demografi
Latar belakang karakteristik sosial demografi meliputi
daerah asal, usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan serta
alasan atau motivasi menjadi PSK dan pengetahuan tentang
PMS. Para PSK yang ditemui dan berhasil diwawancarai baik
di lokasi penelitian di DKI Jakarta maupun Surabaya asalnya
sangat heterogen, umumnya berasal dari Jawa Tengah. Sesuai
dengan yang diharapkan, PSK yang berhasil diwawancarai
untuk daerah penelitian di DKI berjumlah 20 orang, dan di
lokasi penelitian di Surabaya 20 orang. Daerah asal 20 PSK
yang ditemui dan diwawancarai di beberapa jalan di Kota
Madya Surabaya sebagian besar berasal dari Jawa Timur
seperti Jombang, Banyuwangi dan Sidoarjo dan sebagian kecil
dari Jawa Tengah seperti Cilacap dan Pekalongan. Sedangkan
PSK yang berhasil diwawancarai di lokasi penelitian di DKI
Jakarta, umumnya berasal dari Jawa Barat seperti dari
Kabupaten Indramayu, Kuningan dan Karawang dan
Purwakarta. Dilihat dari tingkat ekonomi orang tua, umumnya
berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka umumnya
mengaku bekerja sebagai pelayan toko atau buruh pabrik. Latar
belakangnya beragam; 10% ibu rumah tangga, 40% buruh
pabrik dan 30% penjaga toko, sisanya setelah tidak bersekolah
langsung menjalani profesi sebagai PSK.
Alasan mereka menjalani profesi sebagai PSK ada yang
karena perceraian, disakiti suami atau desakan ekonomi. Dalam
menjalani profesinya mereka berpindah-pindah lokasi. baik
yang di wilayah Jakarta maupun yang di Surabaya dengan
alasan mencari pengalaman dan agar dianggap "baru" Umur
responden antara 17 tahun sampai 34 tahun, sebagian besar di
bawah 30 tahun (Tabel 1).
Umur sangat berpengaruh terhadap banyaknya pelanggan
atau tingkat kelarisan di samping faktor lainnya seperti faktor
fisik, penampilan, selera tamu dan lain-lain.
Tabel 1. Proporsi Pekerja Seks Berdasarkan Kelompok Usia dan Daerah
Penelitian
Daerah Penelitian
DKI Jakarta
Surabaya
Kelompok
Umur
(Tahun)
Jumlah % Jumlah %
Jumla
h
15 - 19
20 - 24
25 - 29
30 - 34
35 - 39
4
8
6
2
20.0
40.0
30.0
10.0
3
9
4
3
1
15.0
44,7
20.0
20.0
0,3
7
17
10
5
1
Jumlah
20
100.0
20
100.0
40
Tingkat Pendidikan PSK
Kebanyakan responden hanya berpendidikan Sekolah Dasar
(SD). Bahkan ada yang tidak tamat SD. Ada di antara mereka
menamatkan SLTA atau SMEA. Pendidikan mempengaruhi
cara penampilan dan bicara yang terlihat pada saat transaksi
dan atau saat penyambutan calon pelanggan atau pasangan.
Pekerja seks termuda yang berhasil diwawancarai di
daerah penelitian di DKI Jakarta berumur 16 tahun. Dia
berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) di daerah asalnya Tasikmalaya Jawa Barat Wajahnya
tidak tergolong cantik. Mulai menjalani profesi sebagai pekerja
seks komersial sejak tahun 1997. Setiap melakukan transaksi
dia menawarkan harga (memasang tarif) Rp. 50.000. Biasa
mangkal di Kebayoran Baru tepatnya di kawasan Taman Blok
M mulai pukul 19.00 WIB. Dia terlanjur datang ke ibu kota
untuk mencari pekerjaan. Mau kembali ke orang tua, bagi dia
bukan solusi, karena orang tua tergolong tidak mampu. Uang
yang didapat dari menjalani profesi sebagai PS sebagian
dikirim untuk orang tuanya. Dia tidak pernah menyesali apa
yang telah menimpa dirinya meskipun masih berharap untuk
kembali ke jalan yang benar. Lain halnya PSK yang biasa
mangkal di kawasan Melawai. Di kawasan tersebut para PSK
memasang tarif sekitar Rp 400.000 setiap transaksi. Salah
seorang PSK yang berhasil diwawancarai berusia sekitar 21
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
52
background image
tahun. Ia lulusan SLTP dan tinggal di daerah Sawangan Bogor.
Untuk mendapatkan calon pelanggan (pasangan seksnya)
biasanya dibantu oleh para pedagang asongan atau pengamen
dengan upah Rp 10.000 - 15.000.
Para PS di kawasan Melawai dikoordinir oleh germo.
Salah seorang PSK yang berpraktek di daerah penelitian di
Surabaya yang berhasil ditemui dan diwawancarai biasa
mangkal di kawasan Margorejo mengaku lulusan SMK
(Sekolah Menengah Kejuruan). Kedua orang tuanya sering
bertengkar. Pertama kali berhubungan seks dengan seorang
pengusaha di Surabaya.
PSK lain lulusan SLTP asli Surabaya berusia 21 tahun di
lokasi yang sama yaitu di kawasan Margorejo. Ia terpaksa
mulai menjalani profesi sebagai PSK karena benturan ekonomi
sejak tahun 1998. Kedua orang tuanya meninggal. Dia tinggal
bersama neneknya. PSK lain lulusan SMU, biasa di jalan
Ketintang, Surabaya. Masalah utamanya ialah masalah
ekonomi. Setelah lulus SMU tahun 1998 ia tidak meneruskan
kuliah. Alasan menjadi PSK tidak terungkap. PSK tertua yang
berhasil diwawancarai berusia sekitar 35 tahun di Jakarta Dia
adalah ibu rumah tangga berputra 4 orang, mulai menjalankan
profesi sebagai PSK sejak tahun 1997 di seputar Bioskop Pasar
Minggu, Jakarta Selatan
Status Perkawinan PSK
Sebagian besar bertatus belum menikah (31 orang -
77.5%). Sementara yang berstatus menikah dan masih
bersuami 5 orang (12.5%) dan berstatus janda 3 orang (7.5%).
Sebagian besar beragama Islam; 3 orang mengaku beragama
Kristen
Alasan Menjadi PSK
Pekerjaan mereka sebelum menjadi PSK sangat beragam
antara lain sebagai ibu rumah tangga, pelayan di hotel, pesuruh
di kelurahan, bekerja di diskotek, pelayan toko, sebagai
petani/pemelihara ternak dan ada yang belum pernah bekerja
karena baru menamatkan sekolah.Faktor ekonomi merupakan
alasan klasik (95%). Pada umumnya mereka berasal dari
keluarga kurang mampu atau miskin. Alasan lain kejiwaan atau
frustrasi. Faktor pendorong untuk bekerja sebagai PSK sangat
bervariasi antara lain terkena PHK, diajak teman, paling mudah
mendapatkan uang, sebagai janda ditinggal suami, tidak dapat
memenuhi kebutuhan anak-anak dan kehidupan sehari-hari,
frustrasi karena pernah digauli oleh laki-laki, dibohongi untuk
dikawin/ditinggal pacar, membantu beban orang tua yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, sulit mencari pekerjaan
lain, ingin kecukupan supaya tidak ketinggalan dengan teman-
teman sebayanya, bertengkar dengan orang tua karena
dijodohkan.
Penghasilan PSK
Tingkat ekonomi rata-rata meningkat sesudah menjadi PSK
Mereka dapat membiayai kehidupan keluarga termasuk
menyekolahkan anak. Sebagian dari mereka dapat menabung
untuk rencana setelah mengakhiri profesi PSK. Sebagian besar
responden baru sekitar 1 tahun menjalani profesinya.
Penghasilan mereka tidak tetap. Tarif umum rata-rata Rp.
50.000,- hingga Rp 100.000. Mereka bisa melayani 2 hingga 3
orang tamu atau pelanggan dalam semalam. Penghasilannya
sebesar Rp. 200.000 sampai Rp 1.500.000 tiap bulan, sebagian
dikirim ke orang tua dan sebagian lagi untuk kebutuhan hidup
di Jakarta. Tetapi banyak juga yang tidak tertabung, karena
sangat konsumtif dan perlu mempercantik diri misalnya untuk
membeli pakaian dan lain-lain.
Sikap dan Perilaku Penggunaan Kondom
Berbagai faktor yang mendorong pemakaian kondom
berkaitan dengan pengetahuan mereka yaitu kuatir terkena
PMS dan tertular penyakit HIV-AIDS, kuatir hamil.
Pengaruh Lingkungan
Dari informasi yang diperoleh, nampaknya faktor yang
mempengaruhi mereka terjun ke dunia malam adalah
lingkungan teman, keluarga dan masyarakat umum. Mereka
menjadi PSK karena diajak teman, dimarahi orang tua/keadaan
ekonomi keluarga serta suaminya sendiri yang membiarkan
isterinya melakukan pekerjaan sebagai PSK. Dapat pula karena
pengaruh pergaulan dan lingkungan sosial. Ada yang karena
ditipu pacar atau korban perkosaan. Walaupun tidak dapat
dibenarkan, keadaan ekonomi sangat mendukung seorang
wanita untuk terjun ke dunia pelacuran.
Peran Media Komunikasi.
Sebagian besar PSK menyatakan informasi tentang
penyakit diperoleh melalui televisi dan membaca Mereka
mengenal penyakit HIV-AIDS akibat hubungan seks berganti-
ganti dan penyakit ini tidak atau belum ada obatnya. Selain itu
sebagian dari mereka juga pernah membaca bahwa untuk
menghindari penularan penyakit kelamin adalah memakai
kondom. Penyuluhan melalui komunikasi tatap muka tidak
mereka peroleh. Hal ini mungkin karena kelompok mereka
tidak diketahui sebagai PSK.
Faktor Keterberdayaan Dalam Tatanan Sosial.
Mereka umumnya mengakui bahwa keberadaan mereka
sebagai PSK tidak dikehendaki oleh tatanan baik keluarga
maupun masyarakat. Mungkin sebagian dari mereka merasa
berdosa menjalani profesi sebagai PSK. Bila ditanya mereka
mengatakan yang tidak sebenarnya, misalnya bekerja di
restoran atau di kelab malam (bar).
Harapan PSK
Sarana yang diperlukan setiap PSK adalah kemudahan
untuk mendapatkan obat dan peralatan kontrasepsi berupa
kondom yang diperlukan terutama untuk mencegah penyakit
akibat hubungan seks atau PMS. Para PSK mengharapkan
dapat memperoleh kondom secara mudah dan murah, jika perlu
gratis, dapat ikut program KB (keluarga berencana) secara
murah terutama melalui suntikan. Selain itu mereka juga
mengharapkan kemudahan untuk pemeriksaan kesehatan setiap
saat. Mereka juga mengharapkan bantuan dana (modal) saat
berhenti dari profesinya. Informasi ini diperoleh dari hampir
semua PSK yang sudah janda dan mereka yang sudah
mendekati usia 30 tahun. PSK yang relatif masih muda lebih
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 53

menghendaki pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan
tingkat pendidikannya. Di samping itu mereka juga
mengharapkan mendapatkan tambahan ketrampilan di tempat
penampungan. Bahkan ada yang bercita-cita menjadi pedagang
setelah mempunyai modal kerja. Pekerja seks pada umumnya
ingin kembali ke jalan yang benar, setidaknya ingin kembali
menjadi wanita yang baik. Mereka umumnya menginginkan
pekerjaan dan membentuk keluarga yang sejahtera. Menurut
pengakuan mereka hanya kesempatan yang belum muncul.
Mereka pada dasarnya mempunyai naluri kewanitaan yang baik
dan ingin menjalani hidup seperti wanita atau ibu-ibu rumah
tangga secara normal di masyarakat lingkungannya.
Penelitian Endang Sedyaningsih (1999.) menyatakan pada
dasarnya dikotomi antara perempuan baik-baik dan perempuan
tidak baik tampaknya masih melekat dalam pandangan
masyarakat dan lebih lagi dikuatkan oleh berbagai kebijakan,
adat serta aturan yang ada.
Pandangan tersebut sering memojokkan perempuan;
kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada
perempuan di tengah langkanya lapangan pekerjaan serta
rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan menjadi
penyebab utama munculnya pekerja seks, di tambah terjadinya
krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Dengan perkataan lain munculnya PSK merupakan bentuk
kekalahan perempuan dalam persaingan di lapangan pekejaan
yang lebih dikuasai laki-laki. Dalam kondisi demikian,
perempuan selalu tersisihkan dengan gaji lebih sedikit dan
mudah terancam PHK Di sisi lain tumbuh pusat-pusat hiburan
dan selalu ada saja PSK yang muncul.Pada dasarnya kehadiran
PSK adalah sebagai korban pembangunan dan korban
pandangan masyarakat, baik sebagai akibat kekerasan yang
dialaminya seperti perkosaan atau penganiayaan. Semuanya itu
berakar pada kuatnya konsep patriarki sebagai bagian budaya
dalam masyarakat. Konsep patriarki menganggap laki-laki
mempunyai hak poligami. Inilah yang menumbuhkan
kontradiksi manakala dihadapkan pada masalah PSK
KEPUSTAKAAN
1.
Endang R Sedyaningsih, Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak,
Penerbit Suara Pembaharuan, 1999.
2.
Hudayana,B. Pengumpulan Dan Analisis Data Dalam Penelitain
Etnografi, Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1992.
3.
Koentjaraningrat. Metoda-Metoda Penelitian Masyarakat, Penerbit PT.
Gramedia, Jakarta, 1977.
4.
Suara Pembaharuan, Maret 1999
It is the passions that do and that undo everything
(Fontenelle)
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
54


Pdpersi, Jakarta - Belum lagi permasalahan penyakit polio dan busung lapar mereda, kembali dunia kesehatan Indonesia terguncang. Telah dilaporkan 34 anak usia bawah lima tahun (Balita) di propinsi Papua positif mengidap Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Tampaknya kasus ini tidak hanya menimpa anak balita di propinsi tersebut. Mungkin juga akan dialami beberapa anak balita di propinsi lainnya, mengingat kasus HIV juga mulai menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.

Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). AIDS adalah penyakit fatal yang merupakan stadium lanjut dari infeksi HIV. Infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada orang dewasa).

Gejala umum yang sering terjadi pada anak adalah diare berkepanjangan, sering mengalami infeksi atau demam lama, tumbuh jamur di mulut, badan semakin kurus dan berat badan terus turun. Serta gangguan sistem dan fungsi organ tubuh lainnya yang berlangsung kronis atau lama. Secara primer HIV dan AIDS terjadi pada dewasa muda, tapi jumlah anak-anak dan remaja yang terkena semakin bertambah jumlahnya.

Penularan infeksi HIV dari Ibu ke Anak merupakan penyebab utama infeksi HIV pada anak usia di bawah 15 tahun. Sejak HIV menjadi pandemic di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Hampir sebagian besar penderita tersebut tertular melalui penularan dari ibu ke anak. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 800.000 bayi menjadi terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak. Dan diikuti adanya sekitar 610.000 kematian anak karena virus tersebut.

Di Indonesia menurut Ditjen PPM dan PL Departemen kesehatan tercatat 3568 kasus HIV/AIDS pada akhir bulan Desember 2002. Terdapat 20 anak dengan infeksi HIV yang tertular ibunya. Penelitian yang dilakukan Yayasan Pelita Ilmu dan Bagian kebidanan FKUI/RSCM selama tahun 1999-2001 melakukan pemeriksaan pada 558 ibu hamil di daerah miskin di Jakarta, menunjukkan hasil sebanyak 16 orang (2,86%) mengidap infeksi HIV.

Wanita sering tertular infeksi HIV melalui hubungan heterosexual dengan pasangan yang terinfeksi atau melalui penggunaan obat-obatan, Meningkatnya infeksi HIV pada anak adalah karena akibat penularan selama perinatal (periode kehamilan, selama dan setelah persalinan). Lebih dari 90% AIDS pada anak yang dilaporkan tahun 1994 terjadi karena transmisi dari ibu hamil ke anak.

Penularan terhadap bayi bisa terjadi selama kehamilan, persalinan atau postnatal melalui ASI. Angka kejadian penularan dari ibu ke anak diperkirakan sekitar 20% - 30%. Penularan HIV dari ke janin bila tanpa dilakukan intervensi dilaporkan berkisar antara 155 – 45%.

Resiko penularan di negara berkembang sekitar 21% - 43%, lebih tinggi dibandingkan resiko penularan di negara maju sekitar 14%-26%. Penularan dapat tejadi saat kehamilan, intrapartum, dan pasca persalinan. Resiko infeksi penularan terbanyak terjadi saat persalinan sebesar 18%, di dalam kandungan 6% dan pasca persalinan sebesar 4%.

Penularan di dalam kandungan didiagnosis jika pemeriksaan virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran, selanjutnya tes minggu pertama menjadi posItif dan bayi tidak menyusui Ibu. Selama persalinan bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan lahir.

Pada ibu yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan aspirasi lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir sangat dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara persalinan, ulkus serviks atau vagina, perlukaan dinding vagina, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forsep, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 pada ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan.

Transmisi pasca persalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu ibu). ASI diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang tenderita HIV adalah 1 per 10 4 sel, partikel virus ini dapat ditemukan pada componen sel dan non sel ASI. Berbagai factor yang dapat mempengaruhi resiko tranmisi HIV melalui ASI antara lain mastitis atau luka di puting, lesi di mucosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi.

Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan faktor penting penularan paska persalinan dan meningkatkan resiko tranmisi dua kali lipat. Beberapa peneliti membuktikan pemberian ASI pada ibu dengan HIV meningkatkan tranmisi HIV 0,7% perbulan pada usia 0 sampai 5 bulan, 0,6% pada usia 6-11 bulan, lalu 0,3% perbulan pada usia 12-17 bulan.

Penelitian Leroy menyebutkan resiko transmisi HIV melalui ASI diperkirakan adalah 3,2 per 100 anak pertahun. Keadaan penyakit ibu juga menjadi pertimbangan karena Ibu yang terinfeksi HIV mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi dari yang tidak menyusui. WHO, Unicef dan UNAIDS mengeluarkan rekomendasi untuk menghindari Air Susu Ibu yang terkena HIV jika alternative susu lainnya tersedia dan aman.

Pemeriksaan standar seperti enzyme-linked immunoabsorbent assay dan analisa Western termasuk antibodi immunoglobulin. Imuniglobulin G (IgG) tidak dapat mendiagnosis HIV pada bayi di bawah usia 18 bulan. Hal ini disebabkan karena masih ditemukannya IgG anti HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan kadang hingga usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti HIV tidak dapat melalui plasenta sehingga dapat dijadikan konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Namun sensitifitas kedua pemeriksaan tersebut masih sangat rendah.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan pada usia di bawah usia 18 bulan adalah pemeriksaan kultur HIV, tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24. Infeksi HIV pada bayi di bawah 18 bulan dapat ditegakkan bila dua sampel dari dua kali pemeriksaaan yang berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Infeksi HIV bisa disingkirkan bila 2 macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif.

Pemeriksaan dengan PCR atau kultur virus dapart dilakukan sejak lahir dan usia 1 atau 2 bulan. Darah tali pusat tidak dapat digunakan dalam pemeriksaan HIV. Jika PCR kultur virus adalah positif, maka pemeriksaan harus diulang segera untuk konfirm asi sebelum diagnosis HIV dibuat. Bila hasil PCR atau kultur virus dilakukan saat lahir dan usia 1-2 bulan tidak menunjukkan hasil positif dan bayi tidak menunjukkan gejala maka pemeriksaan diulang usia 4 bulan. Pemeriksaan lainnya harus dimajukan sebelum usia 4 bulan bila timbul gejala infeksi pada bayi. Atau bila pemeriksaan hematologi atau imunologi menunjang adanya infeksi HIV.


Orangtua atau ibu dari bayi yang terpapar HIV harus menyadari masalah yang dihadapi anaknya sejak awal. Penentuan diagnosis HIV yang akan dihadapi penderita sangat berpengaruh pada orang tua dan keluarga. Ibu penderita harus diberikan informasi yang jelas tentang seringnya evaluasi pemeriksaan, kesulitan diagnosis awal infeksi HIV pada bayi, manfaat pemeriksaan untuk menentukan status infeksi bayi, pemberian Zidovudine dalam mengurangi resikopenularan, terapi profilasis PCP, modifikasi dalam rekomendasi imunisasi, rekomendasi untuk tidak memberi ASI dan kewaspadaan untuk mencegah penyebaran penyakit.

Dokter yang merawat harus mendiskusikan bersama orang tua tentang penilaian gejala, tampilan klinis penyakit, manifestasi hematologi, penyakit ginjal atau manifestasi neurologi yang diakibatkan oleh penyakit AIDS.

Peningkatan kasus HIV memungkinkan terjadi peningkatan keterlibatan dokter khususnya dokter spesialis kandungan dan dokter anak dan tenaga medis lainnya dalam perawatan bayi yang terpapar HIV. Masyarakat khususnya yang beresiko terinfeksi HIV hendaknya juga turut aktif dalam pencegahan penularan HIV pada bayi yang akan dilahirkan. Skrening atau pemeriksan awal HIV pada Ibu hamil yang beresiko harus sudah menjadi tindakan rutin. Resiko dan potensi pada anak untuk terinfeksi HIV semakin meningkat pesat.

Untuk mencegah dalam kondisi yang lebih mangkawatirkan, maka pencegahan harus terus dilakukan. Mengurangi kehidupan seks bebas, menghindari narkoba dan perilaku negatif lainnya adalah tindakan yang harus dikampanyekan terus menerus. Jangan sampai dosa dan perbuatan buruk orang tua menjadi beban kehidupan anak Indonesia di kemudian hari.






Diagnosis HIV pada Bayi
Mengapa Sulit Menentukan Apakah Bayi Terinfeksi HIV?
Sementara diagnosis HIV pada orang dewasa relatif mudah, menentukan apakah seorang bayi terinfeksi atau tidak adalah jauh lebih rumit. Tes yang canggih dibutuhkan, tetapi tidak terjangkau di Indonesia.
Infeksi HIV dapat terjadi pada bayi selama kehamilan, saat melahirkan, dan waktu menyusui. Bila infeksi menularkan melalui ASI, antibodi yang dicari oleh tes HIV baru terbentuk dengan jumlah yang cukup untuk dideteksi setelah beberapa bulan. Jadi sebaiknya menunggu sedikitnya tiga bulan setelah penyusuan dihentikan sebelum tes HIV dilakukan.
Tes Antibodi
Antibodi terhadap HIV diserahkan dari ibu ke janin melalui plasenta. Jadi bila seorang bayi yang terlahir oleh ibu yang HIV-positif dites HIV waktu lahir, hasilnya pasti akan positif. Namun HIV sendiri hanya tertular pada kurang lebih 20 persen bayi dalam kandungan atau waktu melahirkan. Sedikitnya, antibodi ibu berada dalam darah bayi untuk enam bulan pertama hidupnya. Setelah enam bulan, jumlah antibodi ibu mulai berkurang, dan hasil tes HIV kebanyakan bayi yang tidak terinfeksi akan menjadi negatif pada usia 12 bulan. Kadang kala, antibodi dari ibu baru hilang setelah 18 bulan. Sebaliknya, setalah beberapa bulan, seorang bayi yang terinfeksi HIV akan membentuk antibodi sendiri terhadap HIV, dan hasil tes HIV akan tetap positif untuk seumur hidup. Hasil tes HIV positif pada seorang anak berusia 18 bulan ke atas berarti anak tersebut terinfeksi HIV.
Tes antibodi HIV dapat dipakai untuk meyakinkan bahwa anak tidak terinfeksi HIV asal anak tidak diberikan ASI oleh ibu yang HIV-positif sedikitnya dalam tiga bulan sebelum dites. Seorang anak yang tidak disusui selama tiga bulan terakhir dengan hasil tes HIV negatif tidak terinfeksi HIV.
Tes Virus
Berbeda dengan tes antibodi, tes virus dapat menentukan apakah bayi terinfeksi dalam bulan-bulan pertama hidupnya. Tes RNA HIV dengan alat PCR, yang biasanya dilakukan untuk mengukur viral load, dapat deteksi virus dalam darah, dan dapat dipakai untuk diagnosis HIV pada bayi. Namun tes ini masih sangat mahal (lebih dari Rp 1 juta) dan lebih sulit dilakukan dibandingkan tes antibodi, dan hanya dapat dilakukan di sedikit laboratorium di Indonesia.
Dua puluh sampai empat puluh persen bayi yang terinfeksi dalam kandungan atau saat lahir akan menunjukkan hasil positif pada tes PCR baru setelah lahir, sementara kebanyakan akan menunjukkan hasil positif pada usia 14 hari. Namun virus pada 10 persen bayi terinfeksi HIV baru terdeteksi setelah enam minggu. Namun bila anak atau ibunya dulu memakai obat antiretroviral (terutama nevirapine) untuk mencegah penularan HIV ke bayi waktu melahirkan, virus mungkin tetap ditekankan dan tidak terdeteksi sampai empat bulan.
Hasil positif palsu dapat terjadi, terutama bila laboratorium tidak berpengalaman dengan alat PCR, dan semua hasil positif sebaiknya langsung dikonfirmasi dengan contoh darah baru. Hasil viral load yang rendah (di bawah 10.000) kemungkinan positif palsu, karena viral load pada bayi biasanya sangat tinggi.
Hasil negatif palsu juga dapat terjadi. Sebaiknya dua tes virus dilakukan untuk konfirmasi bahwa anak tidak terinfeksi. Tes ini dapat dilakukan setelah usia satu bulan, atau empat bulan bila ARV sebelumnya dipakai oleh ibu atau bayi. Sebaiknya juga tes antibodi dilakukan setelah anak berusia 18 bulan sebagai konfirmasi ulang.
Protokol Tes yang Diusulkan
Penyakit yang diakibatkan HIV dapat berlanjut secara cepat pada bayi: angka kematian mendekati 50 persen pada anak terinfeksi HIV di bawah dua tahun bila HIV-nya tidak diobati. Jadi dengan semakin luas ketersediaan terapi antiretorviral (ART) untuk bayi dan anak, tujuan kita dengan menentukan apakah bayi terinfeksi secara dini terutama untuk bertemu bayi HIV-positif yang membutuhkan perawatan dan pengobatan daripada sekadar untuk konfirmasi ketidakadaan infeksi HIV.
Sementara tes PCR yang positif (bila dikonfirmasi) membuktikan bahwa bayi terinfeksi HIV, seperti dibahas di atas, tes PCR yang negatif tidak membuktikan bahwa bayi tidak terinfeksi. Namun, hasil PCR negatif menunjukkan bahwa bayi tersebut tidak berisiko tinggi kelanjutan penyakit yang diakibatkan HIV (karena viral load-nya rendah). Bayi dengan tes PCR negatif dan tetap tidak bergejala sebaiknya dites antibodinya setelah berusia 18 bulan atau tiga bulan setelah penyusuan dihentikan. Sebaliknya seorang bayi dengan hasil tes PCR negatif tetapi bergejala sebaiknya mendapatkan tes diagnostik lanjutan. Walaupun gejala penyakit terkait HIV sering serupa dengan gejala penyakit umum pada masa kanak-kanak, dan harus dilakukan upaya untuk menyesampingkan diagnosis lain, tes PCR ulang diusulkan bila infeksi HIV dicurigai.
Garis Dasar
  • Tes antibodi HIV yang positif pada anak berusia 18 bulan ke atas berarti anak terinfeksi HIV
  • Tes antibodi HIV yang positif pada anak di bawah usia 18 bulan tidak membantu membedakan anak terinfeksi HIV dari anak yang tidak terinfeksi
  • Tes antibodi HIV yang negatif tiga bulan atau lebih setelah penyusuan dihentikan, atau kapan saja pada anak yang tidak disusui berarti anak tersebut tidak terinfeksi HIV
  • Tes antibodi HIV yang negatif pada anak yang masih disusui atau dengan penyusuan baru saja dihentikan tidak cukup untuk menyesampingkan infeksi HIV. Tes harus diulang sedikitnya tiga bulan setelah penyusuan dihentikan
  • Tes PCR HIV yang positif yang langsung dikonfirmasi dengan tes ulang pada anak berusia enam minggu atau lebih berarti anak tersebut terinfeksi HIV
  • Tes PCR HIV yang negatif pada anak berusia enam minggu ke atas tidak meyakinkan bahwa anak tidak terinfeksi HIV
  • Anak dengan tes PCR HIV negatif yang berhenti disusui sebelum berusia 15 bulan sebaiknya dites antibodi HIV pada usia 18 bulan
  • Anak dengan tes PCR HIV negatif yang meneruskan penyusuan setelah 15 bulan sebaiknya dites antibodi HIV sedikitnya tiga bulan setelah penyusuan dihentikan
  • Anak dengan tes PCR HIV negatif yang mengembangkan gejala penyakit terkait HIV sebaiknya dites PCR HIV ulang


Asal-Usul HIV/AIDS

Oleh Annabel Kanabus & Sarah Allen, AVERT, 10 Februari 1999
Perdebatan seputar asal-usul AIDS telah sangat menarik perhatian dan sengketa sejak awal epidemi. Namun, bahaya mencoba mengenali dari mana AIDS berasal. Orang-orang dapat menggunakan nya sebagai bahan perdebatan untuk menyalahkan kelompok tertentu atau gaya hidup.
Kasus AIDS pertama ditemukan di AS pada 1981, tetapi kasus tersebut hanya sedikit memberi informasi tentang sumber penyakit ini. Sekarang ada bukti jelas bahwa AIDS disebabkan oleh virus yang dikenal dengan HIV. Jadi untuk menemukan sumber AIDS kita perlu mencari asal-usul HIV.
Asal-usul HIV bukan hanya menyangkut masalah akademik, karena tidak hanya memahami dari mana asal virus tersebut tetapi juga bagaimana virus ini berkembang menjadi penting sekali untuk mengembangkan vaksin HIV dan pengobatan yang lebih efektif. Juga, pengetahuan tentang bagaimana epidemi AIDS timbul menjadi penting dalam menentukan bentuk epidemi di masa depan serta mengembangkan pendidikan dan program pencegahan yang efektif.
Tipe virus apakah HIV itu?
HIV adalah bagian dari keluarga atau kelompok virus yang disebut Lentivirus. Lentivirus seperti HIV ditemukan dalam lingkup luas primata non-manusia. Lentivirus yang lain, diketahui secara kolektif sebagai virus monyet yang dikenal dengan SIV (simian immunodeficiency virus) di mana tulisan di bawah garis menunjukkan asal spesiesnya.
Jadi dari mana HIV berasal? Apakah HIV berasal dari SIV?
Sekarang secara umum diterima bahwa HIV merupakan keturunan dari SIV. Jenis SIV tertentu mirip dengan HIV-1 dan HIV-2, dua tipe HIV.
Sebagai contoh, HIV-2 dapat disamakan dengan SIV yang ditemukan pada monyet sooty mangabey (SIVsm), kadang-kadang dikenal sebagai monyet hijau yang berasal dari Afrika barat.
Jenis HIV yang lebih mematikan, yaitu HIV-1, hingga akhir-akhir ini sangat sulit untuk digolongkan. Sampai 1999, yang paling mirip adalah SIV yang diketahui menginfeksi simpanse (SIVcpz), tetapi ada perbedaan yang berarti antara SIVcpz dan HIV.
Jadi apa yang terjadi pada 1999? Apakah sekarang simpanse diketahui sebagai asal HIV?
Pada Februari 1999 diumumkan bahwa kelompok peneliti dari University of Alabama, di AS, telah meneliti jaringan yang dibekukan dari seekor simpanse dan menemukan jenis virus (SIVcpz) yang nyaris sama dengan HIV-1. Simpanse ini berasal dari sub-kelompok simpanse yang disebut Pan troglodyte troglodyte, yang dahulu umum di Afrika tengah-barat.
Peneliti menegaskan bahwa ini menunjukkan simpanse adalah sumber HIV-1, dan virus ini pada suatu ketika menyeberang dari spesies simpanse ke manusia. Namun, belum jelas apakah simpanse merupakan sumber asli HIV-1 karena simpanse jarang terinfeksi SIVcpz. Oleh karena ada kemungkinan baik simpanse maupun manusia terinfeksi dari pihak ketiga, yaitu suatu spesies primata yang masih belum dikenali. Bagaimana pun keadaannya, sedikitnya perlu dua perpindahan terpisah ke manusia.
Bagaiamana HIV dapat menyeberangi spesies?
Telah lama diketahui bahwa virus tertentu dapat menyeberang dari hewan kepada manusia, dan proses ini dikenal dengan zoonosis.
Peneliti dari University of Alabama mengesankan bahwa HIV dapat menyeberang dari simpanse karena manusia membunuh simpanse dan memakan dagingnya.
Beberapa teori lain yang diperdebatkan berpendapat bahwa HIV berpindah secara iatrogenik (diakibatkan kealpaan pihak medis), misalnya melalui percobaan medis. Satu teori yang disebarluaskan secara baik adalah bahwa vaksin polio yang memainkan peranan dalam perpindahan ini, karena vaksin tersebut dibuat dengan menggunakan ginjal monyet.
Tetapi yang penting pada berbagai macam teori ini adalah pertanyaan tentang kapan perpindahan itu terjadi.
Apakah ada fakta kapan perpindahan itu terjadi?
Selama beberapa tahun terakhir memungkinkan bukan hanya menentukan apakah HIV ada di dalam darah, tetapi juga menentukan subtipe virus. Penelitian terhadap subtipe virus, dari infeksi HIV pada kasus-kasus awal dapat memberi petunjuk mengenai kapan HIV pertama kali menyerang manusia dan perkembangan berikutnya.
Tiga infeksi HIV yang paling awal adalah sebagai berikut:
  1. Contoh plasma (cairan darah) yang diambil dari seorang pria dewasa yang hidup di Republik Demokratik Kongo tahun 1959.
  2. HIV ditemukan pada contoh jaringan tubuh dari seorang pemuda Amerika-Afrika yang meninggal dunia di St. Louis, AS, tahun 1969.
  3. HIV ditemukan pada contoh jaringan tubuh dari seorang pelaut Norwegia yang meninggal dunia sekitar tahun 1976.
Analisis yang dilakukan pada 1998 tentang contoh plasma dari 1959 mengesankan bahwa HIV-1 memasuki manusia sekitar 1940-an atau awal 1950-an, lebih awal daripada yang diperkirakan sebelumnya. Ilmuwan lain memperkirakan lebih lama lagi, mungkin sekitar 100 tahun yang lalu atau lebih.
Apakah diketahui di mana HIV pada manusia muncul?
Sekarang banyak orang menganggap karena HIV terlihat berkembang dari satu jenis SIV yang ditemukan pada tipe simpanse di Afrika Barat, ini berarti HIV pertama muncul pada manusia di sana. Kemudian dianggap bahwa HIV menyebar dari Afrika ke seluruh dunia.
Bagaimana pun, seperti yang dibahas di atas, belum tentu simpanse adalah sumber asli HIV dan ada kemungkinan virus ini menyeberang ke manusia, lebih dari satu kesempatan. Jadi mungkin juga HIV timbul pada waktu yang bersamaan baik di Amerika Selatan dan Afrika, atau bahkan muncul di benua Amerika sebelum muncul di Afrika.
Kita mungkin tidak akan pernah tahu secara pasti kapan dan di mana virus ini muncul pertama kali, tetapi yang jelas pada suatu waktu di pertengahan abad 20-an ini, infeksi HIV pada manusia berkembang menjadi epidemi penyakit di seluruh dunia yang saat ini lebih dikenal sebagai AIDS.
Apa yang menyebabkan epidemi ini menyebar secara tiba-tiba?
Ada beberapa faktor yang dapat mendukung penyebaran begitu mendadak termasuk perjalanan internasional, industri darah, dan penggunaan narkoba yang meluas.
Perjalanan Internasional
Peranan yang dimainkan oleh perjalanan internasional dalam penyebaran HIV disorot pada kasus yang sekarang dikenal sebagai ‘Patient Zero’ (pasien asli). Patient Zero adalah seorang pramugara pesawat terbang berkebangsaan Kanada dan bernama Gaetan Dugas yang sering mengadakan perjalanan ke seluruh dunia. Analisis terhadap beberapa kasus AIDS awal menunjukkan bahwa orang terinfeksi tersebut adalah orang yang berhubungan seksual baik langsung atau pun tidak langsung dengan pramugara ini. Kasus-kasus ini yang ditemukan di beberapa kota di AS ini menunjukkan peranan perjalanan internasional dalam penyebaran HIV. Ini juga mengesankan bahwa penyakit ini mungkin diakibatkan oleh satu zat penyebar.
Industri Darah
Sewaktu transfusi darah menjadi bagian yang rutin dari tindakan medis, industri darah untuk memenuhi permintaan darah juga meningkat. Di beberapa negara seperti AS, orang yang menyumbangkan darahnya dibayar, termasuk pengguna narkoba suntikan. Darah yang diperoleh kemudian dikirim ke seluruh dunia. Juga, pada akhir 1960-an penderita hemofilia mulai memanfaatkan pembeku darah yang disebut Factor VIII.
Untuk memproduksi zat pembeku itu, darah dari ribuan donor dikumpulkan yang meningkatkan kemungkinan produk ini tercemar HIV. Karena Factor VIII disebarkan ke seluruh dunia, ada kemungkinan banyak penderita hemofilia terpajan infeksi baru.
Penggunaan Narkoba
Pada 1970-an ditemukan peningkatan ketersediaan heroin seiring dengan perang Vietnam dan konflik lain di Timur-Tengah, yang mendorong pertumbuhan penggunaan narkoba suntikan. Peningkatan penyediaan beserta pengembangan alat semprit plastik sekali pakai dan pembangunan shooting gallery (tempat menyuntik narkoba) di mana orang dapat membeli obat terlarang dan menyewakan perlengkapan menjadi cara lain penyebaran virus.
Apa teori lain tentang asal-usul HIV?
Teori lain yang diajukan tentang asal-usul HIV termasuk banyaknya teori konspirasi. Beberapa orang mengesankan HIV dibuat oleh CIA, meskipun yang lain menganggap bahwa HIV direkayasa secara genetik.

Subtipe, Tipe, Golongan dan Jenis HIV

Apakah perbedaan antara HIV-1 dan HIV-2?
Saat ini ada dua tipe (type) HIV: HIV-1 dan HIV-2. Di seluruh dunia, virus yang utama adalah HIV-1, dan umumnya bila orang terserang HIV tanpa ditentukan tipe virusnya, maksudnya adalah HIV-1. Baik HIV-1 dan HIV-2 disebarkan melalui hubungan seksual, darah, dan dari ibu-ke-bayi, serta keduanya terlihat mengakibatkan AIDS yang secara klinis tidak dapat dibedakan.
Namun, HIV-1 lebih mudah disebarkan dibanding dengan HIV-2, dan jangka waktu antara penularan dan penyakit yang timbul karena HIV-2 lebih lama.
Ada berapa banyak subtipe HIV-1?
HIV-1 adalah virus yang sangat berubah-ubah yang dapat bermutasi dengan sangat mudah. Jadi ada banyak jenis (strain) HIV-1 yang berbeda-beda. Jenis ini digolongkan menurut golongan (group) dan subtipe (subtype). Ada dua golongan, yaitu golongan M dan golongan O.
Pada September 1998, peneliti dari Perancis mengumumkan penemuan jenis HIV baru pada seorang wanita dari Kamerun di Afrika Barat. Jenis ini tidak termasuk dalam golongan M atau pun golongan O, dan hanya ditemukan pada tiga orang lainnya, semua di Kamerun.
Saat ini dalam golongan M sedikitnya diketahui ada sepuluh subtipe HIV-1 yang secara genetis berbeda. Subtipe ini terdiri dari A sampai J. Tambahan pula, golongan O terdiri dari beberapa golongan yang berbeda dari virus yang sangat beraneka ragam. Subtipe di golongan M dapat berbeda antar subtipe sebanyak perbedaan golongan M dengan golongan O.
Setiap subtipe ditemukan di mana?
Subtipe tersebar sangat tidak merata di seluruh dunia. Sebagai contoh, subtipe B kebanyakan ditemukan di sekitar Amerika (utara dan selatan), Jepang, Australia, Karibia, dan Eropa; subtipe A dan D adalah yang paling sering ditemukan di Afrika sub-Sahara; subtipe C di Afrika Selatan dan India; dan subtipe E di Republik Afrika Tengah, Thailand, dan negara lainnya di Asia Tenggara. Subtipe F (Brazil dan Rumania), G dan H (Rusia dan Afrika Tengah), I (Siprus), dan golongan O (Kamerun) mempunyai prevalensi sangat rendah. Di Afrika, sebagian besar subtipe ditemukan, walaupun subtipe B kurang umum.
Apakah perbedaan utama antara subtipe ini?
Perbedaan utama terletak pada susunan genetisnya; perbedaan yang bersifat sangat biologis di tabung percobaan dan pada manusia dapat mencerminkan hal ini.
Juga dikesankan subtipe tertentu dapat dihubungkan dengan cara penyebaran tertentu pula: misalnya, subtipe B dengan hubungan homoseksual dan penggunaan narkotik secara suntikan (pada intinya, melalui darah) dan subtipe E dan C, melalui hubungan heteroseksual (melalui jalur mukosal).
Penelitian di laboratorium yang dilakukan oleh Dr. Max Essex dari Harvard School of Public Health di Boston, AS, menunjukkan subtipe C dan E menularkan dan menggandakan diri lebih efisien dibandingkan dengan subtipe B pada sel Langerhans yang ada dalam mukosa vagina, leher rahim, dan kulup penis, tetapi tidak pada dinding dubur. Data memperlihatkan HIV subtipe E dan C lebih mudah menyebar secara heteroseksual dibandingkan dengan subtipe B.
Namun diingatkan, haruslah berhati-hati dalam menerapkan penelitian dari tabung percobaan ke keadaan hidup yang nyata. Faktor tidak tetap lain yang mempengaruhi risiko penyebaran, seperti tahapan penyakit HIV, kekerapan terpajan, penggunaan kondom, dan adanya penyakit menular seksual (PMS), juga harus dipertimbangkan sebelum kesimpulan yang pasti dapat diambil.
Apakah beberapa subtipe lebih menular dibandingkan dengan lainnya?
Beberapa penelitian yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan subtipe E menyebar secara lebih mudah dibanding dengan subtipe B. Pada satu penelitian yang dilakukan di Thailand (Mastro dkk., The Lancet, 22 Januari 1994), ditemukan angka rata-rata penularan subtipe E di antara pekerja seks wanita dan kliennya lebih tinggi dibandingkan dengan subtipe B yang ditemukan di kelompok umum di Amerika Utara.
Pada penelitian kedua yang dilakukan di Thailand (Kunanusont, The Lancet, 29 April 1995), antara 185 pasangan dengan satu pasangan yang terinfeksi HIV subtipe E atau B, ditemukan bahwa kemungkinan penularan pada pasangan tersebut lebih tinggi pada yang terinfeksi subtipe E (69%) dibandingkan dengan subtipe B (48%). Ini mengesankan subtipe E dapat lebih mudah ditularkan.
Namun penting untuk dicatat, tidak ada satu penelitian pun yang dirancang untuk memantau secara penuh terhadap berbagai faktor yang dapat mempengaruhi risiko penularan.
Apakah subtipe E adalah subtipe baru?
Subtipe E bukanlah subtipe baru. Contoh darah yang disimpan menunjukkan subtipe E telah dikenal pada permulaan wabah di Afrika Tengah dan awal 1989 di Thailand.
Apakah tes antibodi HIV umum mampu mendeteksi semua subtipe?
Tes antibodi HIV rutin yang saat ini digunakan untuk skrining darah dan diagnosis mendeteksi semua subtipe HIV. (Sebagian besar perusahaan telah mengubah tesnya, sehingga tes dapat mendeteksi jenis O dari golongan HIV-1 yang baru diketahui.)
Apakah ada subtipe lagi yang mungkin "muncul?"
Hampir dapat dipastikan subtipe genetis HIV baru akan ditemukan di masa mendatang, dan tentu subtipe baru akan berkembang sebagaimana virus terus bermutasi. Subtipe yang ada saat ini juga akan terus menyebar ke daerah yang baru selama wabah berlanjut di seluruh dunia.
Namun, di beberapa negara hanya ada sedikit pemantauan yang dilakukan untuk mendeteksi subtipe. Misalnya, di Inggris, Public Health Laboratory Service (pelayanan laboratorium kesehatan masyarakat) milik pemerintah yang bertanggung jawab untuk memantau penyebaran HIV di negara tersebut, dalam sebulan hanya menganalisis dua infeksi baru untuk informasi subtipe.
Apakah dampak keragaman HIV terhadap penelitian pengobatan dan vaksin?
Diperlu lebih banyak penelitian. Beberapa subtipe HIV yang telah diteliti di laboratorium mempunyai sifat pertumbuhan dan imunologi yang berbeda; perbedaan ini perlu ditunjukkan pada manusia.
Tidak diketahui apakah perbedaan genetis pada subtipe E atau subtipe lain sebenarnya membuat perbedaan pada risiko penyebaran, reaksi terhadap terapi antiretroviral, atau pencegahan oleh vaksin. Jika perbedaan genetis ini membuat perbedaan dalam efektivitas vaksin, tentu ini menunjukkan hambatan penting terhadap pengembangan vaksin HIV yang efektif secara luas atau cocok untuk seluruh dunia. Vaksin influenza kadang-kadang harus diubah dan diperbaharui karena adanya perbedaan genetis dalam virus influenza. Mungkin tindakan yang sama perlu dilakukan pada vaksin HIV.
Perjalanan Infeksi HIV
Awal infeksi
Grafik: awal infeksiGrafik berikut menunjukkan kelanjutan infeksi pada beberapa bulan pertama (masa infeksi akut). Segera setelah virus masuk ke aliran darah kita, HIV mulai replikasi secara cepat, dan viral load meloncat tajam (garis merah). Oleh karena itu, banyak sel CD4 dihancurkan, dan jumlah sel CD4 turun drastis (garis biru). Setelah beberapa minggu, sistem kekebalan mulai membentuk antibodi terhadap HIV (garis hijau), dan antibodi ini mulai melawan dengan virus, sehingga viral load mulai menurun dan jumlah CD4 meningkat kembali. Antibodi baru dapat terdeteksi oleh tes HIV setelah beberapa minggu (masa jendela). Pada masa ini, viral load dan daya menular paling tinggi.
Kadang kala infeksi akut, yang terjadi 2-3 minggu setelah kita terinfeksi HIV, dapat menimbulkan penyakit primer atau akut. Penyakit ini dapat ditandai oleh demam, rasa letih, sakit pada otot dan sendi, sakit menelan, dan pembesaran kelenjar getah bening. Jadi gejalanya mirip gejala flu, dan jarang diketahui atau didiagnosis sebagai awal infeksi HIV. Di negara maju, diperkirakan 30-60% orang mengalami penyakit akut setelah terinfeksi HIV; di Indonesia, gambarnya belum jelas. Untuk informasi lebih lanjut, lihat Lembaran Informasi 103 Infeksi HIV Primer.
Kelanjutan infeksi
Grafik berikut menunjukkan kelanjutan infeksi setelah infeksi akut. Tahap ini biasanya mulai dengan masa tanpa gejala, yang bertahan rata-rata 7-10 tahun dan dapat jauh lebih lama, atau pun lebih pendek juga. Selama masa ini viral load meningkat pelan-pelan, sementara jumlah CD4 terus-menerus merosot. HIV replikasi terus dengan puluhan miliar virus dibuat dan dihancurkan setiap hari. Kemudian viral load mulai meningkat tajam, sementara jumlah CD4 menurun di bawah 200, yang mendefinisikan AIDS. Karena sistem kekebalan tubuh semakin rusak (ditandai oleh CD4 yang semakin rendah), infeksi oportunistik (IO) mulai muncul. Dan semakin rendah CD4, IO akan menjadi semakin berat dan semakin sulit diobati. Akhirnya, viral load menjadi sangat tinggi dan jumlah CD4 dapat menjelang nol.
Grafik: lanjutan penyakit
Yang menarik juga, pada tahap penyakit lanjutan, jumlah antibodi mulai menurun, seperti dilihat pada garis hijau. Hal ini terjadi karena antibodi dibuat oleh sistem kekebalan, dan bila sudah rusak, sistem tersebut tidak mampu membuat antibodi lagi. Walaupun jarang, pada masa ini, tes HIV dapat menunjukkan hasil non-reaktif (negatif), karena tinggal terlalu sedikit antibodi untuk menunjukkan hasil positif. Hal ini disebut sebagai sero-reversi, tetapi tidak berarti kita sembuh; justru sangat jelas pada saat itu, kita sangat sakit!
Namun, karena umumnya gejala penyakit yang kita alami tidak langsung disebabkan oleh infeksi, melainkan oleh reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi, dengan sistem kekebalan tubuh begitu rusak, sering kali gejala penyakit mulai hilang sebagaimana jumlah CD4 menjelang nol. Hal ini bukan berarti kita tidak sakit; hanya kita tidak mengalami gejalanya. Dan akhirnya penyakit tersebut mengakibatkan kematian kita.
Harus ditekankan bahwa kelanjutan ini terjadi bila kita tidak memakai terapi antiretroviral (ART). Kalau kita sempat mulai ART sebelum jumlah CD4 turun di bawah 200, kemungkinan kita tidak akan mengalami infeksi oportunistik yang berat, dan kita tidak akan melanjutkan ke tahap AIDS. Tetapi jelas keadaan yang baik ini hanya akan berlaku terus-menerus jika kita memakai ART dengan kepatuhan yang tinggi.
Stadium WHO untuk Penyakit HIV
pada Orang Dewasa dan Remaja

Stadium Klinis 1

Tanpa gejala (asimtomatis)
Limfadenopati generalisata persisten

Stadium Klinis 2

Kehilangan berat badani yang sedang tanpa alasanii (<10% berat badan diperkirakan atau diukur)
Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (sinusitis, tonsilitis, ototis media dan faringitis)
Herpes zoster
Kheilitis angularis
Ulkus di mulut yang berulang
Erupsi papular pruritis
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur di kuku

Stadium Klinis 3

Kehilangan berat badan yang parah tanpa alasan (>10% berat badan diperkirakan atau diukur)
Diare kronis tanpa alasan yang berlangsung lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-menerus, lebih dari 1 bulan)
Kandidiasis mulut berkepanjangan
Oral hairy leukoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri yang berat (mis. pnemonia, empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis atau bakteremia)
Stomatitis, gingivitis atau periodontitis nekrotising berulkus yang akut
Anemia (<8g/dl), neutropenia (<0,5 × 109/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 × 109/l) tanpa alasan

Stadium Klinis 4iii

Sindrom wasting HIV
Pneumonia Pneumocystis
Pneumonia bakteri parah yang berulang
Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, kelamin, atau rektum/anus lebih dari 1 bulan atau viskeral pada tempat apa pun)
Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)
Tuberkulosis di luar paru
Sarkoma Kaposi (KS)
Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain)
Toksoplasmosis sistem saraf pusat
Ensefalopati HIV
Kriptokokosis di luar paru termasuk meningitis
Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
Kriptosporidiosis kronis
Isosporiasis kronis
Mikosis diseminata (histoplasmosis atau kokidiomikosis di luar paru)
Septisemia yang berulang (termasuk Salmonela nontifoid)
Limfoma (serebral atau non-Hodgkin sel-B)
Karsinoma leher rahim invasif
Leishmaniasis diseminata atipikal
Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV
i. Penilaian berat badan pada perempuan hamil harus mempertimbangkan penambahan yang umum waktu hamil
ii ‘Tanpa alasan’ berarti keadaan tidak dapat diakibatkan oleh alasan lain.
iii Beberapa penyakit khusus yang juga dapat dimasukkan pada klasifikasi wilayah (misalnya penisiliosis di Asia)
Edit terakhir: 13 Agustus 2006
Stadium WHO untuk HIV/AIDS pada Anak
dengan Infeksi HIV Dipastikan

Stadium Klinis 1

Tanpa gejala (asimtomatis)
Limfadenopati generalisata persisten

Stadium Klinis 2

Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasani
Erupsi papular pruritis
Infeksi virus kutil yang luas
Moluskum kontagiosum yang luas
Infeksi jamur di kuku
Ulkus mulut yang berulang
Pembesaran parotid persisten tanpa alasan
Eritema lineal gingival (LGE)
Herpes zoster
Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore, sinusitis, atau tonsilitis)

Stadium Klinis 3

Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku
Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih)
Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-menerus, lebih dari 1 bulan)
Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu)
Oral hairy leukoplakia (OHL)
Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut
Tuberkulosis pada kelenjar getah bening
Tuberkulosis paru
Pneumonia bakteri yang parah dan berulang
Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala
Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis
Anemia (<8g/dl), neutropenia (<0,5 × 109/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 × 109/l) tanpa alasan

Stadium Klinis 4ii

Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malanutrisi yang parah tanpa alasan dan tidak menanggapi terapi yang baku
Pneumonia Pneumosistis (PCP)
Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi tulang atau sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk pneumonia)
Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan atau viskeral pada tempat apa pun)
Tuberkulosis di luar paru
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)
Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi organ lain, yang mulai pada usia lebih dari 1 bulan)
Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis)
Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis)
Kriptosporidiosis kronis
Isosporiasis kronis
Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B
Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV

i ‘Tanpa alasan’ berarti keadaan tidak dapat diakibatkan oleh alasan lain.
ii Beberapa penyakit khusus yang juga dapat dimasukkan pada klasifikasi wilayah (misalnya penisiliosis di Asia)

Edit terakhir: 13 Agustus 2006Kuku Berwarna Abu-Abu Prediktor Jumlah CD4 yang Rendah di antara Pasien Belum Diobati di Malawi

Abstrak
Latar Belakang: Kriteria alternatif untuk mulai terapi antiretroviral (ART) selain tes CD4 atau penyakit klinis dibutuhkan di Malawi.
Metode: Kami menguji apakah kuku berwarna abu-abu dapat dipakai untuk mengetahui pasien dengan jumlah CD4 di bawah 200 yang belum mengalami penyakit terkait AIDS.
Hasil: Dengan memakai sebuah seri 242 fotograf (lihat gambar) kami menunjukkan persesuaian antarpengamat yang baik untuk kuku berwarna abu-abu dan nilai prediktif positif (positive predictive value) kuku abu-abu untuk jumlah CD4 di bawah 200 adalah 81 persen.
Foto contoh kukuKesimpulan: Kuku abu-abu berhubungan dengan infeksi HIV dan kami menunjukkan korelasi yang bermakna antara tanda ini dengan jumlah CD4 yang rendah. Untuk dokter yang bekerja di Afrika sub-Sahara tanpa akses pada tes CD4, kuku berwarna abu-abu atau yang DB (‘distal banded’ = belang di atas?) mewakili tanda stadium tambahan untuk membantu mengetahui sub-kelompok pasien yang mungkin sebaiknya mulai ART.
Sumber: Grey nails predict low CD4 cell count among untreated patients with HIV infection in Malawi, AIDS: Volume 20(10) 26 June 2006 p 1415-1417
Edit terakhir: 1 Juli 2006
Anak dan HIV
Bagaimana Anak Tertular HIV?
Sebagian besar anak di bawah usia sepuluh tahun yang terinfeksi HIV tertular oleh ibunya. Penularan dapat terjadi dalam kandungan, waktu melahirkan atau melalui menyusui (lihat Lembaran Informasi (LI) 611). Belum ada kasus anak yang terinfeksi akibat kegiatan sehari-hari di rumah, walaupun ibunya atau anggota keluarga lain HIV-positif. Sebaliknya, HIV tidak dapat menularkan melalui hubungan langsung dengan anak, misalnya memeluk, mencium, memandikan, mengganti popok, atau waktu bermain.
Saat ini, sebagian besar anak yang terinfeksi HIV di negara berkembang didiagnosis berdasarkan gejala penyakit terkait HIV, diikuti oleh tes HIV positif. Mendiagnosis HIV pada anak hampir pasti berarti bahwa ibunya dan mungkin pasangan si ibu juga terinfeksi HIV. Jadi keluarga membutuhkan banyak dukungan setelah diagnosis HIV pada anaknya. Lagi pula, sebelum anak dites HIV, sedikitnya ibunya harus diberi konseling prates dan memberi persetujuan.
Bagaimana Kita Tahu Anak Terinfeksi HIV
Seperti dengan orang dewasa, ada beberapa tanda dan gejala yang seharusnya menimbulkan kecurigaan bahwa anak terinfeksi HIV. Ini termasuk: berat bada menurun, atau gagal tumbuh; diare lebih dari 14 hari; demam lebih dari satu bulan; infeksi saluran pernapasan bagian bawah yang parah atau menetap; batuk kronis; dan infeksi oportunistik sama yang dialami oleh orang dewasa.
Tes HIV umum akan menunjukkan hasil positif selama beberapa bulan jika ibunya terinfeksi HIV, walaupun si anak mungkin tidak terinfeksi (lihat LI 611 untuk informasi lebih lanjut tentang tes HIV untuk anak). Jadi, jika hasil tes si anak adalah positif, ini bukti bahwa ibunya HIV, dan karena itu, penting si ibu diberi konseling sebelum anaknya dites.
Penelitian terhadap Anak
Sebetulnya, hanya ada sedikit penelitian mengenai HIV pada anak. Jadi sebagian besar usulan dan pedoman tentang penatalaksanaan HIV pada anak berdasarkan penelitian pada orang dewasa.
Perkembangan Penyakit HIV pada Anak
Sebagian kecil anak yang terinfeksi agak dini pada kehamilan akan mengembangkan tanda dan gejala penyakit pada usia 1-2 tahun; anak ini dianggap sebagai ‘pelanjut cepat’. Anak tersebut akan melaju ke masa AIDS secara sangat cepat, dan kadar CD4 akan cepat merosot menjadi di bawah 100 sebelum usia dua tahun. Gejala dapat mencakup gagal tumbuh, ensefalopati, dan/atau infeksi oportunistik umum (lihat LI 500).
Sebagian besar anak dengan HIV, yang terinfeksi waktu melahirkan atau melalui menyusui, menlanjut secara menengah. Anak tersebut cenderung mengembangkan bukti kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh pada usia 7-8 tahun. Kehilangan sel CD4 akan berlanjut berangsur-angsur. Gejala dapat mencakup limfadenopati (lihat LI 521) dan penyakit masa kanak-kanak yang kambuhan, dengan fungsi kekebalan tubuh tidak rusak berat. Kelompok ini, yang disebut ‘pelanjut pelan’, mempunyai harapan hidup lebih baik.
Sekelompok kecil anak dengan HIV akan tetap sehat dengan sedikit atau tiada gejala penyakit HIV, dan kadar CD4 yang normal atau sedikit ditekan sampai dengan usia sembilan tahun.
Pelanjut cepat terdiri dari kurang-lebih 20 persen anak dengan HIV; pelanjut pelan 60 persen, dan non-pelanjut adalah 20 persen. Semua angka ini dikumpulkan sebelum ada terapi antiretroviral dan pengobatan dini untuk bayi dengan HIV. Belum diketahui jika diagnosis dan pengobatan dini akan mengubah perkembangan ini, dan mempengaruhi persentase ini.
Penelitian di antara sejumlah besar anak dengan HIV di negara maju menunjukkan bahwa mereka tahan hidup rata-rata 8-9 tahun.
Pengobatan untuk Anak
Akhir-akhir ini, pengalaman dengan mengobati anak dengan HIV terus berkembang, baik untuk mencegah atau mengobati infeksi oportunistik, maupun terapi antiretroviral. Dengan pengobatan tersebut, ada harapan bahwa anak tersebut bisa tahan hidup lama, seperti orang dewasa yang diberi terapi itu. Untuk informasi lebih lanjut mengenai pengobatan untuk anak dengan HIV, lihat LI 616.
Imunisasi untuk Anak dengan HIV
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa manfaat dari imunisasi pada anak dengan HIV lebih besar dibandingkan kerugian akibat efek samping dari vaksin, walaupun ada gejala penyakit HIV. Satu-satunya vaksin yang berisiko adalah BCG untuk TB, jika diberi pada anak dengan gejala penyakit HIV.
Garis Dasar
Bayi dan balita dapat tertular HIV selama kehamilan, waktu melahirkan dan melalui menyusui, jika ibunya terinfeksi HIV. Jika tertular pada awal kehamilan, kemungkinan anak akan melanjut cepat ke AIDS, dan akan meninggal dalam dua tahun pertama kehidupannya. Namun pada sebagian besar anak dengan HIV, perkembangan penyakit akan lebih pelan, dan ada harapan mereka dapat tahan hidup tanpa terapi antiretroviral untuk 8-9 tahun atau lebih.
Diagnosis infeksi HIV pada anak hampir selalu menunjukkan bahwa ibunya dan sering kali ayahnya juga terinfeksi. Jadi masalah kerahasiaan dan dukungan untuk keluarga tetap sangat penting.
HIV pada anak dapat diobati seperti dengan orang dewasa.
Anak dengan HIV sebaiknya diimunisasikan sama seperti anak lain. Hanya anak dengan gejala penyakit HIV tidak boleh diberi vaksin BCG.
Anak yang HIV-positif sebaiknya diawasi oleh dokter spesialis anak dengan pengalaman menatalaksanakan HIV.
Perempuan dan HIV
Apakah HIV Mempengaruhi Perempuan secara Berbeda?
Saat ini, hanya ada sedikit penelitian secara khusus dibidik pada perempuan dengan HIV/AIDS. Belum ada bukti bahwa HIV secara klinis lebih buruk untuk perempuan. Beberapa penilitian mengesankan HIV dapat mempengaruhi perempuan secara berbeda dibandingkan laki-laki, mungkin mengakibatkan kerusakan yang lebih besar pada sistem kekebalan tubuh pada waktu yang lebih dini.
Perbedaan, jika ada, mungkin disebabkan perbedaan fisik, sosial atau psikolog. HIV dapat mempengaruhi:
  • hormon
  • berat dan bentuk badan
  • sistem reproduksi
  • haid dan mati haid
  • gaya hidup dan keadaan sosial
Sering kali, perempuan HIV-positif merawat pasangan dan/atau anak yang HIV-positif, atau sedikitnya mempunyai anak yang tergantung padanya.
Ada bukti bahwa viral load pada perempuan lebih rendah daripada laki-laki, terutama pada tahun-tahun pertama setelah terinfeksi. Namun tampaknya gerak laju HIV berjalan serupa dengan laki-laki. Pedoman pengobatan untuk laki-laki dapat dipakai untuk perempuan.
Perempuan mengalami lebih banyak masalah yang disebabkan oleh human papillomavirus (HPV – lihat Lembaran Informasi (LI) 507). Pertumbahan tidak normal terkait dengan kanker leher rahim lebih sering terjadi dan lebih berat pada perempuan HIV-positif. Masalah HPV tampaknya tidak pulih dengan penggunaan terapi antiretroviral
Gangguan Haid
Gangguan haid agak umum, tidak menghiraukan status HIV-nya. Jika kita mengalami gangguan haid, penting untuk ingat bahwa HIV atau pengobatan HIV tidak tentu penyebabnya. Sering kali gangguan tersebut diakibatkan perubahan hormon yang terjadi secara alami pada sebagian besar perempuan. Namun HIV dan terapi antiretroviral dapat mempengaruhi siklus haidnya. Walaupun dampak HIV pada fungsi hormon perempuan belum ditelitikan secara luas, diperkirakan perubahan pada sistem kekebalan tubuh dapat menyebabkan perubahan pada hormon, dengan akibat gangguan haid.
Masalah Haid yang Dialami oleh Perempuan HIV-positif
Beberapa masalah haid dilaporkan oleh perempuan HIV-positif:
  • perdarahan di atas normal (disebut hipermenore)
  • perdarahan di bawah normal (oliogomenore)
  • masa haid yang lebih sakit daripada normal (dismenore)
  • gejala prahaid yang lebih buruk
  • perdarahan yang tidak teratur
  • perdarahan tidak terjadi (amenore)
Amenore adalah lazin pada perempuan yang mengalami penyakit kronis, atau kehilangan berat badan yang parah. Perempuan dengan penyakit parah seperti AIDS dapat mengalami amenore. Perempuan yang tidak haid dapat mengalami rasa sakit pada panggul, payudara bengkak atau ‘hot flushes’ (rasa panas yang terjadi dan hilang secara tiba-tiba).
Penting untuk melaporkan perubahan haid pada dokter, untuk diperiksa dan didiagnosis alasannya. Gangguan haid dapat mempengaruhi rasa kesejahteraan kita secara fisik dan mental, tetapi masalah biasanya mudah didiagnosis dan diobati.
Untuk informasi lebih lanjut tentang masalah haid, lihat LI 623.
Pengobatan untuk Perempuan
Perempuan sebaiknya ditangani oleh dokter yang mengerti bahwa penyakit HIV dan penatalaksanaannya dapat berbeda pada perempuan:
  • Perempuan dengan HIV yang hamil sebaiknya diobati oleh dokter kandungan yang mengetahui infeksi HIV (lihat LI 611).
  • Perempuan HIV-positif mengalami infeksi vagina, ulkus kelamin, pelvic inflammatory disease dan kutil kelamin lebih sering dan lebih parah daripada perempuan yang tidak terinfeksi HIV.
  • Perempuan jarang mengalami sarkoma Kaposi (lihat LI 508).
  • Perempuan lebih sering mengalami kandidiasis (lihat LI 516) pada tenggorokan dan herpes (lihat LI 514 dan LI 519) dibandingkan dengan laki-laki.
  • Perempuan lebih mungkin mengalami efek samping dari pengobatan, khususnya ruam dan masalah hati akibat penggunaan nevirapine (lihat LI 431), dan beberapa obat lain.
  • Perempuan yang mengalami perpindahan lemak (lipodistrofi, lihat LI 553) lebih mungkin mengalami pertambahan lemak pada perut dan daerah payudarah, dan kurang mungkin kehilangan lemak dari lengan dan kaki dibandingkan laki-laki.
Apakah Gangguan Haid Dapat Terkait dengan Pengobatan HIV?
Banyak perempuan melaporkan perubahan pada siklus haid setelah mulai terapi antiretroviral. Obat antiretroviral termasuk AZT, ddI, ddC dan d4T diketahui menyebabkan gangguan haid pada beberapa perempuan.
Penelitian baru menunjukkan bahwa gangguan haid, terutama pendarahan di atas normal, mungkin adalah efek samping dari beberapa protease inhibitor, misalnya ritonavir. Adalah penting untuk menanggapi pendarahan yang luar biasa, karena ini dapat menyebabkan anemia (lihat LI 552).
Masalah Khusus terkait KB
Perempuan dengan HIV sering memakai pil KB untuk mengatur siklus haid atau waktu masuk masa mati haid. Banyak obat antiretroviral dapat berinteraksi dengan sebagian besar jenis pil KB. Jika dipakai sekaligus, keefektifan pil KB dapat dikurangi. Tanyakan pada dokter apakah diperlu mengubah dosis pil KB-nya waktu mulai terapi antiretroviral, atau menggantikannya dengan cara KB lain, misalnya kondom.
Garis Dasar
HIV mempengaruhi perempuan secara berbeda dengan laki-laki. Ini karena beberapa perbedaan antara perempuan dan laki-laki, baik fisik, sosial dan mental. Perempuan dengan HIV sebaiknya ditangani oleh dokter yang berpengetahuan dan berpengalaman dengan HIV pada perempuan.
Perempuan dengan HIV sering mengalami gangguan haid. Bila ini terjadi, coba membahas dengan dokter.
Infeksi oportunistik yang dialami oleh perempuan adalah lain daripada yang dialami laki-laki. Juga ada perbedaan dalam prevalensi dan parahnya efek samping obat, termasuk obat antiretroviral.
Hepatitis C (HCV) & HIV
Apakah Hepatitis C Itu?
Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan virus hepatitis C (HCV). Penyakit ini disebarkan melalui darah yang terinfeksi HCV. HCV mudah menular bila pengguna narkoba memakai peralatan suntiknya bergantian. Lebih dari 80 persen pengguna narkoba suntikan terinfeksi HCV. Hepatitis C juga dapat disebarkan melalui hubungan seks.
HCV lebih mudah ditularkan dibanding HIV melalui darah yang tercemar. Di Indonesia, ada kurang-lebih 40 kali lebih banyak orang HCV-positif dibanding HIV-positif. Kita bisa terinfeksi HCV dan tidak menyadarinya. 15‑30 persen orang memberantas HCV dari tubuhnya tanpa pengobatan. 70‑85 persen lainnya mengembangkan infeksi kronis, dan virus ini bermukim dalam tubuhnya kecuali bila berhasil diobati. HCV mungkin tidak menyebabkan masalah selama kurang-lebih sepuluh tahun atau bahkan jauh lebih lama, tetapi HCV dapat mengakibatkan kerusakan hati parah yang menyebabkan hatinya gagal dan kematian.
Bagaimana HCV Didiagnosis?
Setelah HCV merusak hati, tes darah akan menunjukkan hasil tes fungsi hati yang tidak normal. Lihat Lembaran Informasi (LI) 107 untuk informasi tentang tes ini. Tingkat SGPT dan SGOT dapat menjadi tanda adanya penyakit atau kerusakan hati.
Bahkan hasil tes fungsi hati normal, HCV mungkin sudah mulai merusak hati. Jika kita HIV, sebaiknya kita dites HCV, terutama jika kita pernah memakai peralatan suntik narkoba bergantian.
Tes darah untuk infeksi HCV termasuk tes antibodi HCV dan tes viral load. Tes ini serupa dengan tes HIV. Viral load HCV sering kali berjuta-juta. Hasil tes ini tidak meramal laju penyakit seperti viral load HIV. Tes antibodi HCV mungkin tidak menemukan infeksi HCV pada kurang-lebih 20 persen orang dengan HIV dan HCV. Odha dengan tes funsi hati yang abnormal sebaiknya mempertimbangkan untuk melakukan tes viral load HCV.
Beberapa dokter melakukan tes yang disebut biopsi, untuk menyakinkan adanya kerusakan hati kita. Sel hati diambil dengan jarum yang tipis, dan diperiksa dengan mikroskop. Biopsi adalah cara terbaik untuk mengetahui apakah hati kita rusak.
Bagaimana Hepatitis C Diobati?
Infeksi HCV lebih mudah disembuhkan jika pengobatan dimulai sangat dini sejak terinfeksi. Sayangnya, tanda awal hepatitis tampaknya seperti flu. Sebagian besar kasus baru didiagnosis beberapa tahun setelah terinfeksi.
Langkah pertama dalam mengobati HCV adalah untuk menentukan jenis HCV. Ada enam jenis HCV yang diketahui, yang disebut “genotipe”. Sebagian besar orang terinfeksi dengan genotipe 1. Beberapa orang terinfeksi genotipe 2 atau 3. Genotipe 1 lebih sulit diobati dibandingkan genotipe 2 atau 3.
Pengobatan umum untuk HCV adalah kombinasi obat interferon dan ribavirin. Interferon harus disuntikkan di bawah kulit tiga kali seminggu, dan ribavirin adalah pil yang dipakai dua kali sehari. Obat ini mempunyai efek samping yang parah, termasuk gejala mirip flu, lekas marah, depresi, dan kadar rendah sel darah merah (anemia) atau sel darah putih.
Ribavirin meningkatkan jumlah ddI dalam aliran darah, dan dapat meningkatkan efek samping ddI. Jangan memakai ribavirin sekaligus dengan AZT. Ribavirin dapat menyebabkan cacat lahir. Perempuan sebaiknya tidak memakainya selama enam bulan atau lebih sebelum menjadi hamil, atau selama kehamilan. Laki-laki sebaiknya tidak memakai ribavirin untuk sedikitnya enam bulan sebelum menghamili seorang perempuan.
Pada 2001, bentuk interferon baru yang disebut “pegylated interferon” disetujui untuk mengobati HCV. Jenis obat ini bertahan lebih lama dalam darah. Hanya satu suntikan dibutuhkan setiap minggu. Pegylated interferon tampaknya lebih kuat dari bentuk asli. Obat ini juga dipakai dalam kombinasi dengan ribavirin.
Pengobatan HCV biasanya berjalan selama 6‑12 bulan, tergantung genotipe HCV. Setelah pengobatan, kurang-lebih 40 persen pasien dengan HCV genotipe 1 dan 80 persen pasien dengan genotipe 2 atau 3 mempunyai viral load HCV yang tidak dapat dideteksi. Ini berarti jumlah HCV dalam darahnya terlalu rendah untuk dideteksikan. Persentase ini berlaku untuk orang dengan HCV, tidak untuk orang yang juga terinfeksi HIV. Angka untuk Odha lebih rendah. Orang dengan viral load HCV yang masih dapat dideteksi setelah pengobatan mungkin perlu terus memakai interferon pada dosis lebih rendah, disebut “terapi pemeliharaan.”
Beberapa unsur mempengaruhi keberhasilan pengobatan HCV. Kita lebih baik menanggapi pengobatan jika kita:
  • Mempunyai HCV genotipe 2 atau 3
  • Mulai dengan viral load HCV yang lebih rendah
  • Mulai sebelum HCV merusak hati
  • Perempuan
  • Di bawah usia 40 tahun
  • Tidak minum minuman beralkohol
Dapatkah HCV Dicegah?
Belum ada vaksin untuk HCV. Cara terbaik untuk mencegah infeksi HCV adalah menghindari terkena darah yang terinfeksi HCV, misalnya tidak memakai peralatan suntik narkoba bergantian.
HCV dan HIV Bersama
Karena HIV dan HCV ditularkan melalui hubungan dengan darah yang terinfeksi, banyak orang terinfeksi kedua virus ini, yang disebut infeksi bersama atau koinfeksi. Koinfeksi menimbulkan masalah khusus. HCV mempersulit penyakit HIV. Ini kemungkinan karena hatinya rusak. Namun, HCV tampaknya tidak mengganggu terapi antiretroviral (ART).
  • Orang dengan kedua infeksi lebih mungkin depresi. Hal ini dapat menyebabkan kelupaan dosis obat (kurang kepatuhan, lihat LI 416) dan lebih mungkin mengalami masalah pemikiran (LI 504)
  • Untuk orang dengan HIV, HCV dapat lebih parah dan dapat lebih cepat menyebabkan kerusakan hati. Pengobatan HCV untuk orang yang koinfeksi adalah berhasil untuk kurang-lebih 25 persen orang dengan genotipe 1 dan 50 persen dengan gentotipe 2 atau 3
  • Orang dengan HIV lebih mungkin menularkan HCV karena viral load HCV-nya lebih tinggi
  • Obat yang dipakai untuk mengobati HIV mengganggu hati. Namun, kami belum tahu apakah obat HIV memperburuk HCV
  • Kadang HIV sebaiknya diobati dulu. Jika menurut pedoman, HIV kita pantas diobati, dan infeksi HCV kita ringan, HIV kita sebaiknya diobati lebih dahulu. HIV yang tidak diobati selama 6-12 bulan dapat menimbulkan akibat yang parah
  • Kadang HCV sebaiknya diobati dulu. Jika HIV kita belum perlu diobati (jika jumlah CD4 cukup tinggi, dan viral load HIV cukup rendah), lebih baik mengobati HCV dahulu. Kemudian hati dalam keadaan yang lebih baik untuk menghadapi obat HIV
  • Infeksi bersama dengan HIV dan HCV memperlambatkan cepatnya peningkatan pada jumlah CD4 setelah ART dimulai.
Adalah rumit menangani infeksi HIV dan HCV bersama. Kita sebaiknya memilih dokter yang mengetahui kedua penyakit.
Garis Dasar
Hepatitis C adalah masalah kesehatan yang parah. Jauh lebih banyak orang terinfeksi HCV dibanding HIV, tetapi mungkin mereka tidak mengetahuinya. Infeksi HCV dapat berlangsung selama bertahun-tahun dan merusak hati sebelum menyebabkan gejala yang nyata.
Infeksi HIV dapat memperburuk HCV. HCV merusak hati, yang dapat mempersulit penggunaan obat HIV. Orang dengan HIV sebaiknya dites HCV. Pengobatan HCV dini akan lebih berhasil.
Pengobatan untuk orang yang terinfeksi HCV dan HIV memang rumit. Orang ini sebaiknya menemui dokter ahli kedua penyakit ini.
Infeksi HIV Primer
Apakah Infeksi HIV Primer Itu?
Jumlah HIV dalam aliran darah menjadi sangat tinggi dalam beberapa hari atau minggu setelah kita terinfeksi HIV. Beberapa orang mengalami gejala mirip flu. Tahap pertama infeksi HIV ini disebut ‘infeksi primer’ atau ‘infeksi akut’.
Kurang-lebih separo orang yang menjadi terinfeksi tidak memperhatikan gejala apa-apa. Gejala biasanya muncul dalam 2-4 minggu. Gejala paling umum adalah demam, kelelahan, dan ruam. Gejala lain termasuk sakit kepala, pembengkakan pada kelenjar getah bening, radang tenggorokan, pegal, mual, muntah, diare, dan keringat malam yang luar biasa basah.
Sangat mudah mengabaikan tanda penyakit primer ini. Gejala ini dapat disebabkan oleh beberapa penyakit lain. Jika mengalami gejala ini apa pun, dan ada kemungkinan kita baru terpajan HIV, bicara dengan dokter tentang tes HIV.
Tes untuk Infeksi Primer
Tes HIV biasa akan menunjukkan hasil negatif jika kita baru terinfeksi. Tes ini mencari antibodi dibuat oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan HIV. Dibutuhkan hingga dua bulan atau lebih untuk membuat antibodi ini. Lihat Lembaran Informasi (LI) 102 untuk informasi lebih lanjut tentang tes HIV.
Namun, tes viral load (LI 413) mengukur virus sendiri. Sebelum sistem kekebalan tubuh membuat antibodi untuk melawannya, HIV menggandakan diri secara sangat cepat. Jadi, tes ini akan menunjukkan viral load yang tinggi selama infeksi primer.
Tes antibodi HIV yang negatif dan viral load yang sangat tinggi menunjukkan infeksi dini, kemungkinan dalam dua bulan belakangan. Jika kedua tes ini positif, itu berarti infeksi HIV kemungkinan terjadi beberapa bulan atau lebih sebelum tes dilaksanakan. Strategi baru yang memakai versi tes antibodi HIV yang khusus dengan sensitivitas yang rendah, disebut sebagai ‘detuned’, setelah tes antibodi baku menunjukkan hasil positif, dapat menunjukkan infeksi yang terjadi tidak lebih dari enam bulan yang lalu. Tes ini dapat dipakai untuk membantu mendeteksi kasus infeksi HIV primer.
Risiko Kerusakan Kekebalan
Beberapa orang menganggap bahwa tahap awal infeksi HIV tidak menyebabkan banyak kerusakan. Mereka berpendapat bahwa kerusakan yang terjadi pada sistem kekebalan tubuh akan dipulihkan oleh penggunaan terapi antiretroviral (ART). Anggapan ini tidak benar!
Hingga 60 persen sel CD4 “ingatan” yang melawan infeksi tertular pada masa infeksi primer, dan separo sel tersebut terbunuh dalam 14 hari pertama setelah kita terinfeksi. Lagi pula, HIV segera mengurangi kemampuan kelenjar timus untuk mengganti sel CD4 yang hilang. Lapisan usus juga sangat cepat dirusakkan. Semua kerusakan ini dapat terjadi sebelum tes HIV menunjukkan hasil positif.
Risiko Menularkan Orang Lain
Jumlah bibit HIV dalam darah jauh lebih tinggi selama infeksi HIV primer dibandingkan setelah itu. Pajanan pada darah seseorang pada tahap infeksi primer lebih mungkin akan menghasilkan infeksi dibanding pajanan pada darah seseorang yang sudah lama terinfeksi. Satu penelitian menujukkan bahwa risiko infeksi adalah kurang-lebih 20 kali lebih tinggi selama tahap infeksi primer.
Mengobati Infeksi HIV Primer
Pada awal, sistem kekebalan tubuh membuat sel darah putih yang mengenal dan membunuh sel yang terinfeksi HIV. Ini disebut ‘tanggapan khusus HIV.’ Lambat laun, kita hilang tanggapan ini. Kecuali kita memakai obat antiretroviral (ARV), infeksi HIV kita akan melaju.
Pedoman untuk memakai obat HIV mengusulkan kita menunggu hingga ada tanda kerusakan pada sistem kekebalan tubuh sebelum kita mulai memakai obat tersebut. Namun, memulai ART selama infeksi primer mungkin dapat melindungi tanggapan khusus HIV itu.
Penelitian awal mengesankan bahwa terapi pada tahap infeksi primer dapat melindungi sistem kekebalan tubuh cukup sehingga sistem tersebut dapat mengendalikan HIV tanpa obat. Para peneliti pernah menyelidiki orang yang mulai terapi selama infeksi primer dan kemudian berhenti memakai ART. Pada beberapa kasus, sistem kekebalan tubuhnya terus mengendalikan HIV tanpa obat.
Baik-Buruknya Mengobati Infeksi HIV Primer
Mulai ART adalah keputusan yang besar. Siapa pun yang memikirkan pemakaian ART sebaiknya mempertimbangkan manfaat dan kerugian.
Kehidupan kita sehari-hari sangat dipengaruhi oleh pemakaian ART. Jika kita lupakan dosis, ada kemungkinan akan muncul resistansi terhadap obat, yang akan membatasi pilihan nanti. LI 416 memberi informasi tentang pentingnya memakai ART secara benar.
ART adalah obat yang sangat manjur. Obat tersebut menyebabkan efek samping yang lama-lama dapat sulit ditahan, dan terapi adalah mahal.
Terapi secara dini dapat melindungi sistem kekebalan tubuh dari kerusakan oleh HIV. Kerusakan kekebalan dialami sebagai kadar CD4 yang lebih rendah dan viral load yang lebih tinggi. Ini dikaitkan dengan laju penyakit yang lebih cepat. Orang yang lebih tua (usia di atas 40 tahun) mempunyai sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah. Mereka tidak menanggapi pada ART sama baik dengan orang lebih muda.
Namun tidak semua orang dengan HIV langsung menjadi sakit. Seorang dengan jumlah CD4 di atas 350 dan viral load di bawah 20.000 rata-rata akan hidup secara sehat selama 6-9 tahun, walaupun tidak memakai ART. LI 412 menyediakan informasi lebih lanjut tentang tes CD4 dan LI 413 tentang tes viral load.
Pada awal, para peneliti berpendapat bahwa terapi dini (saat infeksi primer) dapat memungkinkan Odha menghentikan penggunaan ART setelah beberapa waktu mengendalikan HIV. Namun penelitian baru menunjukkan bahwa hal ini mustahil.
Garis Dasar
Tidak mudah mengetahui orang dengan infeksi HIV primer. Beberapa orang tidak menunjukkan gejala sama sekali. Jika gejala muncul, beberapa penyakit misalnya flu dapat menyebabkannya.
Jika kita memikirkan kita mungkin pada tahap infeksi HIV primer, kita sebaiknya memberi tahu dokter dan melaksanakan tes. Mungkin sangat bermanfaat untuk mulai ART selama infeksi HIV primer.
Memakai ART adalah keputusan yang besar. Membahas manfaat dan kerugian dengan dokter dan mempertimbangkannya secara hati-hati sebelum mengambil keputusan.
Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia
Dilapor s/d Desember 2005

Cases of HIV/AIDS in Indonesia
Reported thru' December 2005
Sumber : Ditjen PPM & PL Depkes RI

Source: Directorate General CDC & EH
Ministry of Health, Republic of Indonesia
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS/HIV Menurut Jenis Kelamin
Cumulative HIV/AIDS Cases by Sex
Jenis Kelamin/Sex
AIDS
AIDS/IDU
Laki-laki/Male
4305
2394
Perempuan/Female
957
171
Tak Diketahui/Unknown
59
36
Tak Disebut/Not Reported
0
0
Jumlah/Total
5321
2601
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS/HIV Menurut Faktor Risiko
Cumulative HIV/AIDS Cases by Mode of Transmission
Faktor Risiko/Mode of Transmission
HIV
AIDS
Jumlah/
Total
Heteroseksual/Heterosexual
1920
2097
4017
Homo-Biseksual/Homo-Bisexual
125
256
381
IDU
1117
2602
3719
Transfusi Darah/Blood Transfusion*
0
6
6
Transmisi Perinatal/Perinatal Trans.
28
66
94
Tak Diketahui/Unknown
832
294
1126
Tak Disebut/Not Reported
222
0
222
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur
Cumulative AIDS Cases by Age Group
Gol Umur/Age Group
AIDS
AIDS/IDU
< 1
29
0
1 - 4
31
0
5 - 14
12
0
15 - 19
193
84
20 - 29
2877
1872
30 - 39
1376
474
40 - 49
451
87
50 - 59
116
10
> 60
33
6
Tak Diketahui/Unknown
210
68
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS/HIV Berdasarkan Propinsi
Cumulative HIV/AIDS Cases by Province
No.
Propinsi/Province
HIV+
AIDS
Jumlah/
Total
AIDS/
IDU
Mati/
Deaths
1
DKI Jakarta
1500
1927
3427
1331
338
2
Papua + Irjabar/West Irian Jaya
920
832
1752
9
192
3
Jawa Timur/East Java
283
724
1007
397
225
4
Bali
513
226
739
85
47
5
Jawa Barat + Banten/West Java + Banten
226
383
609
291
60
6
Riau + Kepri/Riau Arch.
206
250
456
32
120
7
Sumatera Utara/North Sumatra
80
125
205
64
37
8
Kalimantan Barat/West Kalimantan
84
107
191
26
27
9
Sumsel + Babel/South Sumatra + Babel
88
93
181
51
18
10
Jawa Tengah/Central Java
79
99
178
26
52
11
Sulawesi Selatan/South Sulawesi
32
143
175
91
62
12
Sulut/North Sulawesi + Gorontalo
6
96
102
22
33
13
Maluku/Moluccas
34
66
100
32
36
14
Lampung
20
67
87
57
19
15
NTB/West Nusa Tenggara
15
43
58
21
11
16
Yogyakarta
30
19
49
8
8
17
Jambi
17
30
47
16
10
18
NTT/East Nusa Tenggara
13
29
42
4
4
19
Kalimantan Timur/East Kalimantan
35
7
42
3
5
20
Bengkulu
10
23
33
15
6
21
Sumatera Barat/West Sumatra
9
19
28
14
13
22
Kalimantan Tengah/Central Kalimantan
27
1
28
1
1
23
Kalimantan Selatan/South Kalimantan
4
6
10
4
4
24
Sulawesi Tenggara/SE Sulawesi
7
0
7
0
0
25
Sulawesi Tengah/Central Sulawesi
4
2
6
1
1
26
NAD/Aceh
1
3
4
0
2
27
Maluku Utara/North Moluccas
0
1
1
0
1

Tidak Disebut
1
0
1
0
0

Jumlah/Total
4244
5321
9565
2601
1332







Provinsi Pemekaran/Split Provinces

Papua






Papua

772

9
192

Irjabar/West Irian Jaya

51




Tidak Diketahui/Not Known

9


0

Jawa Barat/West Java






Jawa Barat/West Java

332

192
49

Banten

42

13
11

Tidak Diketahui/Not Known

9


0

Riau






Riau

91

1
39

Kep.Riau/Riau Archipelago

146

17
81

Tidak Diketahui/Not Known

13


0

Sulawesi Utara/North Sulawesi






Sulawesi Utara/North Sulawesi

93

18
32

Gorontalo

2


1

Tidak Diketahui/Not Known

1


0

Sumatera Selatan/South Sumatra






Sumatera Selatan/South Sumatra

59

27
15

Babel/Bangka-Belitung

33

12
3

Tidak Diketahui/Not Known

1


0
Prevalensi Kasus AIDS per 100.000 Penduduk Berdasarkan Propinsi
Prevalence of AIDS Cases per 100,000 population by Province
No.
Propinsi/Province
Prevalensi/
Prevalence
1
Papua
49.06
2
DKI Jakarta
23.15
3
Bali
7.19
4
Maluku/Moluccas
5.75
5
Riau+Kepri/Riau Arch.
5.26
6
Sulawesi Utara/North Sulawesi
4.76
7
Bangka/Belitung
3.78
8
Kalimantan Barat/West Kalimantan
2.87
9
Jawa Timur/East Java
2.08
10
Sulawesi Selatan/South Sulawesi
1.83
11
Bengkulu
1.47
12
Jambi
1.25
13
NTB/West Nusa Tenggara
1.12
14
Sumatera Utara/North Sumatra
1.09
15
Lampung
1.01
16
Jawa Barat/West Java
0.96
17
Sumatera Selatan/South Sumatra
0.86
18
NTT/East Nusa Tenggara
0.76
19
Yogyakarta
0.61
20
Banten
0.52
21
Sumatera Barat/West Sumatra
0.45
22
Jawa Tengah/Central Java
0.32
23
Kalimantan Timur/East Kalimantan
0.29
24
Gorontalo
0.24
25
NAD/Aceh
0.17
26
Kalimantan Selatan/South Kalimantan
0.20
27
Maluku Utara/North Moluccas
0.15
28
Sulawesi Tengah/Central Sulawesi
0.10
29
Kalimantan Tengah/Central Kalimantan
0.06

Nasional/National
2.65
Jumlah Kasus Baru AIDS/HIV Berdasarkan Tahun Pelaporan
Number of New HIV/AIDS Cases by Year Reported
Tahun/Year
HIV
AIDS
Jumlah/
Total
AIDS/
IDU
1987
4
5
9
0
1988
4
2
6
0
1989
4
5
9
0
1990
4
5
9
0
1991
6
15
21
0
1992
18
13
31
0
1993
96
24
120
1
1994
71
20
91
0
1995
69
23
92
1
1996
105
42
147
1
1997
83
44
127
0
1998*
126
60
186
0
1999
178
94
272
10
2000
403
255
658
65
2001
732
219
951
62
2002
648
345
993
97
2003
168
316
484
122
2004
649
1195
1844
822
2005
875
2638
3513
1420
Sumber: Ditjen PPM & PL Depkes RI 4 Januari 2006
Source: DirGen. Communicable Diseases & Environmental Health, Dept. of Health, RI, 4 January 2006
Edit terakhir: 1 Juli 2006
Apa itu HIV?
HIV berarti Human Immunodeficiency Virus. HIV hanya menular manusia. HIV menyerang sistem kekebalan tubuh yang melindungi tubuh terhadap infeksi.
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi. Segera setelah terinfeksi, beberapa orang mengalami gejala yang mirip gejala flu selama beberapa minggu. Selain itu tidak ada tanda infeksi HIV. Tetapi, virus tetap ada di tubuh dan dapat menularkan orang lain.
Apa itu AIDS?
AIDS berarti Acquired Immune Deficiency Syndrome. Mendapatkan infeksi HIV menyebabkan sistem kekebalan akan semakin lemah. Keadaan ini akan membuat orang mudah diserang beberapa jenis penyakit (sindrom) yang kemungkinan tidak mempengaruhi orang dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat. Penyakit tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik.
Apa perbedaan antara HIV dan AIDS?
Seorang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat bertahun-tahun tanpa ada tanda fisik atau gejala infeksi. Orang yang terinfeksi virus tersebut tetapi tanpa gejala adalah ‘HIV-positif’ atau mempunyai ‘penyakit HIV tanpa gejala’.
Apabila gejala mulai muncul, orang disebut mempunyai ‘infeksi HIV bergejala’ atau ‘penyakit HIV lanjutan’. Pada tahap ini seseorang kemungkinan besar akan mengembangkan infeksi oportunistik. ‘AIDS’ merupakan definisi klinis yang diberikan kepada orang terinfeksi HIV. Definisi AIDS termasuk jumlah sel CD4 di bawah 200 (suatu tes yang menghitung jumlah sel CD4 – yaitu sel darah penyerang infeksi yang diserang dan dibunuh oleh HIV), atau mengalami satu atau sejumlah infeksi tertentu, termasuk tuberkulosis, jenis kanker yang jarang dan penyakit mata, kulit dan sistem saraf.
Masalah dengan pemakaian definisi ini adalah:
  • definisi ini tergantung pada tes laboratorium yang tidak terdapat di kebanyakan negara berkembang
  • definisi AIDS memasukkan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan di Amerika Utara dan Eropa, dan tidak tentu yang ditemukan di wilayah dunia yang lain
  • definisi memberikan kesan bahwa tidak dapat dielakkan infeksi HIV akan berkembang menjadi AIDS. Setelah terinfeksi, seseorang terinfeksi HIV seumur hidup tetapi banyak orang bertahun-tahun tetap sehat. Sementara juga ada yang mengalami sakit-sakitan parah selama beberapa waktu namun kemudian sehat kembali
Odha yang mempunyai semakin banyak informasi, dukungan dan perawatan medis yang baik dari tahap awal penyakitnya lebih berhasil menangani infeksinya. Obat antiretroviral yang sekarang semakin terjangkau dapat memperlambat kecepatan penggandaan HIV; obat lain dapat mencegah atau mengobati infeksi yang disebabkan HIV.
Dari mana asalnya HIV?
Tidak ada seorang pun yang tahu HIV dari mana, persisnya cara kerjanya atau bagaimana HIV dapat diberantas dari tubuh seseorang. Di setiap negara, waktu AIDS pertama muncul, orang menyalahkan kelompok yang sudah terpinggirkan (dan oleh karena itu pada umumnya lebih mudah diserang infeksi HIV, karena kemiskinan dan tidak terjangkau oleh layanan dan informasi). Biasanya yang disalahkan adalah orang ‘dari luar’ atau yang penampilannya atau perilakunya ‘berbeda’. Semua itu membawa masalah saling menyalahkan dan prasangka. Artinya juga bahwa banyak orang menganggap bahwa hanya orang dalam kelompok ini berisiko tertular HIV dan bahwa ‘itu tidak mungkin terjadi pada saya’. Ketidakpastian mengenai asal usulnya AIDS dan siapa yang terpengaruhinya juga membuat orang bahkan siap menyangkal bahwa AIDS sebetulnya ada.
Apa itu tes HIV?
Tes HIV menemukan antibodi HIV dalam darah. Antibodi itu dibuat oleh sistem kekebalan tubuh sebagai reaksi terhadap infeksi oleh virus tersebut. Apabila tidak ada antibodi, seseorang disebut sebagai antibodi negatif (seronegatif atau HIV-negatif). Hasil tes dapat negatif apabila seseorang baru saja terinfeksi, karena setelah terinfeksi pembentukan antibodi makan waktu sampai tiga bulan. Masa antara infeksi dan terbentuknya cukup banyak antibodi untuk menunjukkan hasil tes positif disebut ‘masa jendela’. Setiap orang yang mungkin terinfeksi selama tiga bulan terakhir harus dites ulang tiga bulan setelah tes pertama, bila hasil tes pertama negatif. Seseorang selalu harus diberikan penyuluhan (konseling) sebelum dan setelah tes HIV. Tes HIV tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan berdasarkan informasi lengkap (informed consent) dari yang bersangkutan.
Bagaimana HIV menular?
HIV terdapat di darah seseorang yang terinfeksi (termasuk darah haid), air susu ibu, air mani dan cairan vagina.
  • Pada saat berhubungan seks tanpa kondom, HIV dapat menular dari darah orang yang terinfeksi, air mani atau cairan vagina langsung ke aliran darah orang lain, atau melalui selaput mukosa yang berada di bagian dalam vagina, penis atau dubur.
  • HIV dapat menular melalui transfusi darah yang mengandung HIV atau melalui alat suntik atau alat tindakan medis lain yang tercemar.
  • HIV dapat disalurkan ke bayi saat kehamilan, kelahiran, dan menyusui. Bila tidak ada intervensi, kurang lebih sepertiga bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu dengan HIV akan tertular.
Bagaimana HIV tidak dapat ditularkan?
HIV hanya dapat hidup di dalam tubuh manusia yang hidup dan hanya bertahan beberapa jam saja di luar tubuh.
  • HIV tidak dapat menular melalui air ludah, air mata, muntahan, kotoran manusia dan air kencing, walaupun jumlah virus yang sangat kecil terdapat di cairan ini. HIV tidak ditemukan di keringat.
  • HIV tidak dapat menembus kulit yang utuh dan tidak menyebar melalui sentuhan dengan orang yang terinfeksi HIV, atau sesuatu yang dipakai oleh Odha; saling penggunaan perabot makan atau minum; atau penggunaan toilet atau air mandi bergantian.
  • Perawatan seseorang dengan HIV tidak membawa risiko apabila tindakan pencegahan diikuti seperti membuang jarum suntuk secara aman dan menutupi luka.
  • HIV tidak menular melalui nyamuk atau serangga pengisap darah yang lain. Kebanyakan serangga tidak membawa darah dari satu orang ke orang lain ketika mereka menggigit manusia. Parasit malaria memasuki aliran darah dalam air ludah nyamuk, bukan darahnya.
Apa yang dimaksud dengan perilaku berisiko tinggi?
Yang dimaksud adalah melakukan sesuatu yang membawa risiko tinggi terkena infeksi pada dirinya atau orang lain. Kita biasanya tidak tahu siapa terinfeksi HIV dan siapa yang tidak, termasuk dirinya sendiri, jadi kegiatan berikutnya termasuk berisiko tinggi:
  • berhubungan seks dengan memasuki vagina atau dubur tanpa memakai kondom. Laki-laki dengan HIV dapat menulari baik pasangan laki-laki maupun perempuan saat berhubungan seks melalui dubur tanpa perlindungan
  • memakai jarum suntik dan semprit (insul), atau alat tindakan medis yang tidak steril, baik pada dirinya maupun orang lain, yang mungkin tercemar oleh darah orang lain
  • menerima transfusi darah yang terinfeksi
Apa artinya seks yang lebih aman?
Seks yang lebih aman adalah setiap hubungan seks yang tidak berkaitan dengan air mani, cairan vagina dan darah yang masuk tubuh orang lain atau menyentuh kulit terluka, misalnya:
  • kegiatan seks tanpa penetrasi – dengan merangsang alat kelamin kita atau pasangan kita (onani), seks paha, memijat atau mencium
  • memakai kondom saat berhubungan seks melalui vagina atau dubur
  • seks dengan mulut (kontak mulut dengan alat kelamin laki-laki atau perempuan) risikonya lebih rendah dibandingkan hubungan seks dengan penetrasi vagina atau dubur tanpa kondom
  • tidak berhubungan seks (menahan nafsu) adalah aman
Apabila kita terinfeksi HIV, adalah sangat penting kita mempraktekkan seks yang lebih aman, agar:
  • mencegah penularan HIV ke orang yang HIV-negatif atau yang tidak tahu status HIV-nya
  • menjauhkan diri dari infeksi menular seksual (IMS) lain, seperti kencing nanah (gonore) atau sifilis, dan/atau infeksi oportunistik yang dapat ditularkan melalui seks, misalnya sitomegalovirus (CMV) atau hepatitis A, B dan C
  • mencegah penularan HIV ulang (reinfection). Itu berarti ditulari jenis atau sub-tipe HIV yang lain (ada dua jenis HIV – HIV‑1 yang telah ditemukan delapan sub-tipenya, dan HIV‑2) atau dengan HIV yang sudah resistan (kebal) terhadap obat. Semua itu dapat meningkatkan jumlah virus (viral load) dalam tubuh dan resistansi terhadap obat antiretroviral (virus menjadi kebal terhadp obat)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar