LAPORAN TOKSIKOLOGI
Judul :
IDENTIFIKASI FORMALDEHID DALAM MAKANAN
Tanggal :
Prinsif : Sampel
makanan dipanaskan dalam penangas air yang mendidih, formaldehid direaksikan
dengan asam kromatrofat (Chromotropic Acid = 1,8-dihidroksinaftalen 3,6
disulfonare sodium salt) membentuk senyawa yang berwarna ungu.
Reaksi :
Dasar teori :
Formalin
adalah larutan 30-50 % gas formaldehid yang sangat toksik dengan bau yang
sangat iritatif meskipun dengan kadar sangat rendah (< 1 ppm). Zat ini
membentuk polimer yang dikenal dengan nama paraformaldehid yang berupa serbuk.
Serbuk Paraformaldehid dahulu pernah dipakai dalam sediaan serbuk tabur untuk
desinfektan, namun sekarang sudah tidak pernah dipakai lagi. Untuk stabilitas
dalam larutan formalin biasanya mengandung sampai 15 % metanol. Formaldehid
dibuat dengan cara mengoksidasi metanol. Sebagai Formalin sering dipakai dalam
pengawetan mayat dan organ-organ mahluk hidup, sterilisasi ruang dan
industri berbagai macam produk barang (kertas, plywood, tekstil, dll ). Untuk
pengawetan makanan bahan ini tidak dianjurkan (dilarang digunakan). Jalur
paparan formalin adalah lewat hirupan (inhalasi), iritasi pada mata dan kulit.
Hirupan dengan kadar 0.5-1.0 ppm lewat pernafasan akan segera diabsorpsi
ke paru dan menyebabkan paparan akut berupa pusing kepala, rhinitis dan
dispnea Pada kadar paparan yang lebih besar akan menyebabkan iritasi pada
membran mukous, rasa terbakar dan lakrimasi (keluar air mata dan pada dosis
lebih tinggi bisa buta), bronkhitis, edema pulmonari atau pneumonia karena
dapat mengecilkan bronkhus dan menyebabkan akumulasi cairan di paru. Pada
individu yang sensitif dapat menyebabkan asma dan dermatitis meskipun dengan
paparan dosis rendah. Karena berat jenisnya
gas formaldehid yang lebih besar dari udara makan akan memudahkan terjadi
aspiksia pada keadaan ruang yang jelek ventilasinya dan tertutup.
Formaldehid
termasuk bahan yang dikelompokkan sebagai salah satu bahan yang dicurigai
bersifat karsinogenik. Beberapa penelitian dengan paparan khronik dosis rendah
yang berulang pada hewan coba diduga bahan ini dapat menyebabkan kanker
sinus-hidung dan leukemia. Penggunaan sebagai pengawet makanan adalah dilarang
karena bahaya yang diuraikan di atas tadi baik akut maupun khronik.
Kalau
dilihat dari kasus penggunaan formalin untuk pengawet makanan ikan asin, mie
dan tahu mungkin akibat mengakibatkan khronik pada kesehatan yang akan di alami
konsumen nantinya. Sedang pada individu tertentu mungkin juga ada reaksi alergi
karena dengan dosis rendah sudah dapat menyebabkan reaksi alergi dengan
manifestasi dermatitis pada kulit. Sedang bagi orang (pekerja) yang memproses
pengawetan resiko pada kesehatannya akan semakin besar karena paparannya akan
lebih sering, kontak hirupan atau kena mata / kulit dan tertelan juga lebih
banyak, apalagi tanpa menggunakan alat pelindung tubuh yang memadai untuk
mengurangi paparan tersebut. Karena dampak khronik yang terjadi, maka kita
belum bisa mengetahuinya sekarang, mungkin beberapa tahun kemudian.
Penggunaan
formalin sebagai pengawet makanan tentunya melanggar beberapa peraturan
perundangan yang ada, antara lain Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang
Perlindungan Kon- sumen, Undang-Undang Pangan, Permenkes tentang Bahan Tambahan
Makanan yang dilarang, Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan. Ada sanksi hukum bagi
produsen baik denda maupun pidana. Sayangnya sosialisasi peraturan yang
ada ini belum banyak diketahui oleh produsen makanan, aparat / petugas
departemen terkait untuk melakukan pengawasan dan pembinaan secara kontinyu.
Hal ini sangat diperlukan karena umumnya yang melanggar adalah industri kecil /
rumah tangga yang pengetahuan masalah keamanan pangan masih sangat rendah.
Belajar
dari kasus ini tentunya agar tidak terulang, tidak merugikan konsumen dan juga
produsen, pekerja yang melakukan pengawetan baik dari segi sosial,
ekonomi, hukum dan kesehatan, maka distribusi formalin perlu diatur seperti
halnya bahan prekursor narkotika-psikotropika yang sudah diatur oleh peraturan
dari Badan POM RI. Bisa juga peraturan dibuat oleh masing-masing daerah
terutama yang banyak industri kecil / rumah tangga dengan produk makanan yang
memungkinkan menggunakan formalin atau bahan tambahan makanan
terlarang lainnya (rhodamin-B, methanyl yellow dlsbnya). Koordinasi antar
departemen sangatlah penting dalam pengawasan dan pembinaan industri tersebut.
Tidak kalah pentingnya adanya penerapan metode alternatif yang
murah , mudah dan cepat dan tepat guna sebagai pengganti pemrosesan
makanan agar menjadi lebih awet dan tetap aman untuk dikonsumsi. Tentunya peran
dari para ahli teknologi pangan sangat diharapkan bantuannya dalam proses
pengawetan makanan tersebut. Bagi produsen yang tidak menggunakan
formalin dan terkena imbas issu formalin sehingga omzetnya menurun, tentunya
perlu menyebutkan produk makanannya “tanpa formalin”, bila perlu
disahkan dengan keterangan yang kuat dari departemen yang terkait. Bagi
distributor / toko penjual formalin maupun bahan tambahan makanan yang dilarang
lainnya juga perlu mengetahui peraturan perundang-undangan di atas agar
penyalahgunaan formalin untuk pengawetan makanan tidak terulang lagi dan
meresahkan masyarakat luas.
Alat dan Bahan :
Alat : 1. Labu
Kjeldahl 250 ml Bahan
: 1. Asam fosfat
2. Pendingin Liebig 2. Larutan jenuh asam
kromatrofat
± 500mg Chromotrofic Acid
dilarutkan dalam 100 mL H2SO4
72 %.
Cara kerja :
1.
sample ditambah
aquadest sebanyak 100 ml
2.
ditambah asam fosfat
sebanyak 50 ml
3.
masukan ke dalam labu
kjeldahi kemudian di destilasi perlahan-lahan sampai di peroleh destilat ± 5 ml
4.
masukan 1 ml larutan
destilat ke dalam tabung reaksi
5.
tambahkan asam
kromatropat sebanyak 5 ml
6.
campur larutan sampai
homogen
7.
masukan kedalam
penangas air ± 15 menit sampai timbul warna ungu / violet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar